Tiga puluh detik berlalu, aku akhirnya meletakkan pistol itu di atas meja.
“Tidak. Aku tidak akan melakukannya.” Aku menjawab tegas.
Ruangan kerja Tauke Besar lengang sejenak.
Salonga akhirnya mengangguk. Tauke terkekeh.
“Lihat, tebakanku benar, bukan? Dia tidak akan menembakmu, bahkan saat aku memaksanya melakukan. Anak ini sangat berbeda.”
Aku menghembuskan nafas perlahan. Semua ini ternyata ujian, latihan
terakhir dari Salonga. Tapi kali ini aku berhasil melewatinya dengan
baik. Hampir saja aku menarik pelatuk pistol itu, tapi sekejap, di detik
yang sangat krusial, aku mengerti filosofinya. Pistol hanyalah pistol,
benda ini mematikan, tapi itu semua tergantung pada pemegangnya. Aku
tidak akan menembak Salonga, bahkan jika kemungkinan pelurunya keluar
satu banding seribu. Aku tidak punya alasan baik melakukannya—bahkan
sekalipun Tauke Besar menyuruhku. Aku memilih hukuman dari Tauke
daripada menembak Salonga.
“Aku tahu kenapa kau mengangkatnya
menjadi anak, Tauke.” Salonga berdiri, “Pertama, tangannya sama sekali
tidak gemetar saat mengacungkan pistol kepadaku, dia selalu tenang dalam
situasi genting apapun. Kedua, kau benar, dia memiliki cara berpikir
yang berbeda dibanding tukang pukul lainnya. Kesetiaan anak ini ada pada
prinsip, bukan pada orang atau kelompok. Di masa-masa sulit, hanya
kesetiaan seperti itulah yang akan memanggil kesetiaan-kesetiaan terbaik
lainnya. Selamat tinggal, Kawan. Terima kasih banyak telah
menyelamatkanku dari tiang gantungan, sekaligus memberikanku tempat
selama menjadi buronan.”
Salonga dan Tauke Besar berpelukan.
Aku ikut berdiri, hendak mengembalikan pistol colt.
Salonga menggeleng, “Itu milikmu, Bujang.”
Aku menatap Salonga tidak mengerti.
“Pistol colt itu aku terima dari guru menembakku dulu. Dia pernah
bilang, suatu saat, berikan pistol itu kepada murid terbaikmu. Aku sudah
menyimpannya selama tiga puluh tahun, hari ini aku memberikannya
kepadamu. Kau adalah murid terbaikku. Besok lusa, giliranmu
mewariskannya.”
Aku terdiam, menatap pistol colt itu.
Sejak
saat itu, satu-satunya senjata yang kubawa kemana-mana adalah pistol
colt hadiah dari Salonga. Bukan semata karena aku membutuhkannya, tapi
sebagian karena nostalgia. Bahwa, kesetiaan terbaik adalah pada
prinsip-prinsip hidup, bukan pada yang lain.
***
Sementara itu, kesibukan di kampus sama tingginya.
Aku menghadiri kuliah, duduk diantara mahasiswa lain, mengerjakan tugas
kelompok, berdiskusi dengan dosen. Kehidupanku berjalan normal, tidak
ada teman kampus yang tahu dimana aku tinggal. Aku hanya bilang aku
menumpang dengan Paman, dan Pamanku tidak suka orang lain datang ke
rumah. Semua serba misterius. Untuk mengurangi perhatian, aku pergi ke
universitas menumpang angkutan umum, berpakaian sama seperti yang lain.
Saat Salonga pergi, aku sudah di tahun terakhir kuliahku, lebih cepat
dibanding siapapun. Saat mengerjakan skripsi, aku mengambil topik yang
sangat kukuasai, shadow economy. Penelitianku berjudul, “Bukti Empiris
Pengaruh Shadow Economy Terhadap Pertumbuhan Ekonomi.”Profesor
pengujiku, seorang guru besar ekonomi berusia lanjut menghela nafas,
bersandar di kursinya, “Nak, ini horor. Belum pernah aku melihat sebuah
kajian begitu mendalam, begitu detail. Kau seperti berada di dalamnya.
Kau seperti anggota keluarga penguasa shadow economy.”
Aku hanya tersenyum tipis. Skripsi mendapatkan nilai sempurna.
Usai wisuda yang hanya dihadiri Frans si Amerika—agar tidak mencolok,
Tauke Besar merayakan kelulusanku, dia mengadakan jamuan makan malam di
bangunan utama. Meja panjang dipenuhi oleh tukang pukul, mereka
bersulang untukku.
“Aku ingat,” Salah-satu tukang pukul tertawa,
“Dia menyambar kayu bakar api unggun, lantas seperti sapi terluka
mengejar kita semua.”
Yang lain tertawa, menepuk meja, mengenang kejadian amok tujuh tahun silam.
“Aku juga ingat. Saat tiba pertama kali, dia sangat pendiam. Lebih
banyak memperhatikan.” Tukang pukul lain menimpali, “Dan dia mudah
sekali percaya apa yang diomongkan oleh Basyir. Astaga, dia satu-satunya
penghuni mess kanan yang bersedia mendengar bualan Basyir tentang suku
Bedouin.”
“Hei! Hei! Apa kau bilang!” Basyir berseru, tangannya terangkat, tidak terima namanya disebut.
Meja panjang kembali dipenuhi tawa.
“Tidak kusangka, Bujang. Anak yang tidak beralas kaki, kotor kakinya
oleh licak lumpur, berjalan melintasi lorong rumah, hari ini telah
menjadi sarjana.” Salah-satu tukang pukul senior mengacungkan gelasnya,
“Mari kita bersulang untuk, Bujang.”
Seluruh tukang pukul mengangkat gelasnya—termasuk Kopong dan Tauke yang duduk di ujung meja.
“Untuk masa depan Bujang yang cemerlang.” Yang lain berseru.
“Untuk masa depan Keluarga Tong.” Yang lain menambahkan.
“Untuk kita semua!”
Seluruh tukang pukul menghabiskan isi gelas sekali tenggak.
Acara jamuan itu berjalan menyenangkan.
“Ayolah, Bujang, ini jamuan untukmu, kau tetap tidak mau minum tuak
sekarang?” Salah-satu tukang pukul tertawa, sengaja menggodaku.
Aku menggeleng tegas. Tidak.
“Sial sekali. Bahkan setelah tujuh tahun, dia tetap tidak berubah soal
minuman ini.” Yang lain menimpali, “Dia tidak tahu betapa nikmatnya tuak
ini.”
Meja panjang dipenuhi oleh tawa.
Hari itu, sepertinya
semua akan berjalan sempurna bagiku. Aku telah diwisuda menjadi sarjana,
Tauke telah bicara tentang rencana-rencana, bahwa aku akan melanjutkan
kuliah di luar negeri, sekaligus belajar banyak hal di sana. Karirku
sebagai tukang pukul sama menterengnya seperti Basyir, semua kehidupanku
di markas Keluarga Tong tiada tanding. Tapi ternyata, beberapa jam
kemudian, datanglah kabar yang menghapus semuanya.
Kebahagiaan sepanjang hari itu bagai pasir yang disiram air, hilang tak berbekas.
Adalah Tauke sendiri yang datang ke kamarku, membawa kabar itu. Dia
ditemani Kopong. Pukul empat pagi, saat semua anggota Keluarga Tong
sedang lelap tidur.
Tauke menyerahkan sepucuk surat, aku menerimanya dengan mata memicing. Ini apa?
Surat itu ditulis oleh Bapakku, di atas kertas kusam, yang terlihat
jelas basah oleh tetes air mata yang telah mengering. Aku membacanya
dengan suara tercekat. Ini kabar duka cita.
“Anakku Bujang,
Pagi ini, Mamakmu telah tiada. Mamakmu telah pergi selama-lamanya. Dia
wafat dengan tenang, sambil menyebut namamu lirih serta mendekap pigura
fotomu. Mamakmu sudah sakit-sakitan sejak sebulan lalu. Mantri dari kota
kecamatan tak kuasa lagi menolongnya.
Siang ini juga, Mamak kau
telah dikebumikan di dekat ladang padi kita. Seluruh penduduk talang
datang, pemakamannya ramai. Banyak yang mendoakan Mamak kau. Maafkan
Bapak jika tidak pernah memberitahumu perkara Mamak kau sakit keras,
Bujang. Tapi itu pesan Mamak kau, agar kau tidak memikirkan banyak hal.
Tentu ada banyak pekerjaan yang harus kau lakukan di kota sana. Mamak
kau cemas jika kabar sakitnya menganggu.
Semoga kau senantiasa
sukses di sana, Nak. Kau tahu, Bujang, tiada pernah alfa walau semalam
pun, tiada pernah tinggal walau sehari pun, Mamak kau mendoakan kau yang
terbaik. Dia selalu merindukanmu, selalu menyebut namamu dalam doa
semasa hidup. Ingatlah apapun pesan Mama kau, Bujang, patuhi hingga
kapanpun.
Bapak kau, Syahdan.”
Aku terhenyak.
Sungguh,
jika manusia dikenali dengan lima emosi, aku memang tidak lagi memiliki
rasa takut. Tapi aku masih memiliki emosi sedih. Kertas kusam dengan
bekas tetes air mata itu terjatuh dari tanganku, melayang hinggap di
lantai, bersamaan dengan tubuhku yang terduduk di atas ranjang. Mamak
telah pergi? Aku tidak percaya. Aku tidak mau menerima kenyataan itu.
Surat ini pastilah dusta.
“Kau kenapa, Bujang?” Kopong bertanya dengan suara cemas.
Tapi bagaimanalah? Surat ini jelas ditulis Bapak. Air mata Bapak telah
membuat kertas ini menjadi kusam. Ya Tuhan? Aku menatap kosong, mataku
pedas, hatiku bagai diiris sembilu.
Aku menangis dalam senyap. Terisak tanpa suara.
“Kau baik-baik saja, Bujang?” Kopong berusaha mendekat.
“Sebaiknya kita pergi, Kopong.” Tauke mengingatkan, melarang Kopong.
Kopong terlihat bingung.
“Biarkan Bujang sendirian. Dia membutuhkan kesendirian saat menerima
kabar seperti ini. Kau tidak akan membantu banyak. Tenang saja, dia
baik-baik saja.” Tauke Besar sudah melangkah meninggalkan kamar, disusul
Kopong beberapa menit kemudian.
Kamarku hening, hanya menyisakan sesak nafasku.
Aku beringsut, meringkuk di pojok kasur. Mamak telah pergi? Wajah Mamak
yang mengenakan tudung melintas di hadapanku. Wajahnya yang tersenyum
menatapku. Suara Mamak yang fals seperti terngiang di telingaku.
Berteriak menyuruhku agar hati-hati saat mengambil kayu bakar. Wajah
Mamak saat mengelap wajahku yang sedang demam, meletakkan kompres air di
dahi. Wajah Mamak yang lembut mengajariku membaca, menulis dan
berhitung.
Aku menangis. Ya Tuhan?
Adzan subuh terdengar dari
masjid dekat markas Keluarga Tong, suaranya sayup-sayup tiba di kamarku.
Aku tergugu, aku ingat dulu Mamak sering mengajariku mengaji, juga
mengajariku mengumandangkan adzan. Meski aku tidak pernah
melakukannya—karena di talang jangankan masjid, langgar pun tak ada. Pun
kalau ada, Bapak akan memukulku tanpa ampun jika tahu aku belajar
agama. Bapak benci sekali jika tahu aku masih belajar segala sesuatu
yang menyangkut Tuanku Imam.
Suara adzan itu semakin terang terdengar. Begitu merdu, mengalun lembut.
Aku memeluk lutut. Tergugu. Air mataku mengalir membasahi pipi.
Seluruh kebahagiaanku 24 jam terakhir seperti menghilang begitu saja.
Mamak telah pergi, selama-lamanya.
***
https://www.facebook.com/tereliyewriter/posts/1461070137276883
No comments:
Post a Comment