Aku akan membuktikan kepada Salonga bahwa aku layak menjadi muridnya.
Aku akan berlatih lebih keras dibanding yang dia bisa bayangkan.
Maka aku datang ke tempat latihan lebih cepat satu jam sebelum Salonga
tiba, dan baru pulang satu jam setelah Salonga memakiku bodoh, sebagai
kalimat penutup sesi latihan. Minggu-minggu pertama, mau dikata apa, aku
memang terlihat bodoh jika mengacu standar Salonga. Dia terus
memberikan perintah ganjil, seperti menembak sebuah kaleng susu kosong
dari jarak tiga meter. Itu mudah, aku bisa mengenai kaleng itu
berkali-kali, tapi permintaan Salonga adalah, peluru yang mengenai
kaleng itu harus ada di dalam kaleng, tidak tembus keluar.
Ratusan percobaan dilakukan, mau bagaimanapun aku melakukannya, peluru tetap menembus kaleng.
“Peluru mahal, Bujang! Kau pikir, karena ayah angkat kau kaya, maka kau
bebas menghamburkan peluru, hah?” Salonga bersungut-sungut, menunjuk
peluru yang berserakan di depan kami, juga kaleng-kaleng yang berjatuhan
ditembus peluru.
Aku menyeka peluh di pelipis. Ruangan latihan
terasa gerah. Aku sudah mencoba menembak dari sudut manapun, cara
apapun, tetap saja peluru itu tidak tersangkut di dalam kaleng.
“Berikan padaku!” Salonga mengambil kasar pistol dari tanganku. Dia
melangkah mendekati papan, meletakkan dua kaleng di atasnya, berbaris.
Satu kaleng di depan, satu lagi di belakang, lantas menembak cepat. Dua
kaleng itu berhamburan jatuh.
Salonga meraih kaleng kedua di lantai,
yang sebelumnya berada di belakang. Menggoncangkannya, peluru jelas
berada di dalam kaleng, terdengar berkelontangan.
“Lihat! Apa susahnya melakukannya?”
Aku hendak berseru kesal. Salonga tidak bilang kalau aku boleh
meletakkan dua kaleng di atas papan, membiarkan peluru menembus kaleng
pertama, tapi dengan kecepatan yang berkurang, peluru hanya bisa
melewati separuh kaleng kedua, lantas terhenti di dalamnya. Kopong juga
terlihat protes.
“Penembak yang baik selalu tahu persis kekuatan
pistolnya, Bujang. Dia tahu pelurunya akan tiba di mana, bisa menembus
apa saja, dan semua tabiat pistolnya. Bagi penembak, pistol seperti
kekasih hati, dia memahaminya dengan baik. Kau sudah tahu, mau kapanpun,
peluru pistolmu akan terus menembus kaleng, karena dia terlalu kuat,
maka jika misimu adalah masukkan peluru ke dalam kaleng, pikirkan cara
lain, letakkan dua kelang di sana, atau apapun yang bisa membuatnya
melambat. Bukan malah berusaha menyesuaikan pistolmu. Karena kau yang
harus memahami pistolmu, bodoh, bukan benda mati yang memahamimu.”
Salonga lebih dulu berseru ketus, melemparkan kaleng berisi peluru.
“Cukup untuk malam ini. Kau hanya menyia-nyiakan waktuku.”
Salonga melangkah, punggungnya hilang dibalik pintu.
“Kau baik-baik saja, Bujang?” Kopong bertanya pelan.
Aku menggeram, mengepalkan tanganku. Yeah, aku baik-baik saja. Belum
pernah aku dimaki berkali-kali seperti ini, seolah tidak ada harganya.
Bodoh-bodoh begini, aku bisa menembak jitu sasaran sejauh empat puluh
meter dengan pistol.
Tapi minggu-minggu berikutnya, kemajuanku
pesat. Aku tahu, Salonga bukan hanya mengajariku menembak, melatih
akurasi tembakan, dia sekaligus sedang menanamkan filosofi mendasar bagi
seorang penembak. Pistol bukan hanya senjata bagi Salonga, lebih dari
itu. Aku menuruti apa yang dia mau, berpikir lebih terbuka, dan berusaha
menerjemahkan filosofi latihannya.
Akhir bulan kedua, Salonga menyuruhku melatih sentuhan jariku, agar bisa lebih sensitif saat menarik pelatuk pistol.
“Kau pikirkan caranya, Bujang. Pertemuan berikutnya aku ingin tahu
latihan apa yang kau pilih. Ingat, latihan agar jemarimu bisa seperti
menari, bukan melatih dia kuat atau hal bodoh lainnya.”
Aku
mengangguk, aku akan memikirkannya siang-malam, meski aku tidak tahu apa
jenis latihannya. Esoknya Kopong memberikan beberapa ide, termasuk hand
grip, yang biasa digunakan tukang pukul saat melatih jari. Aku
menggeleng, itu jelas salah-satu ide bodoh menurut versi Salonga.
Pertemuan berikutnya, aku memutuskan membawa gitar.
Malam itu untuk pertama kalinya Salonga menatapku lebih bersahabat.
“Kau bisa bermain gitar, Bujang?” Salonga bertanya setiba di tempat latihan.
Aku mengangguk. Di kota provinsi dulu, kami sering berkumpul di meja
panjang, kemudian mengisi sisa malam dengan bernyanyi. Ada banyak tukang
pukul yang suka memainkan gitar.
“Berikan padaku, Bujang.” Salonga duduk di sebelahku.
Aku menyerahkan gitar itu.
Saat Salonga mulai memetik gitar, aku dan Kopong terdiam, menelan
ludah. Aku tidak pernah menyangka Salonga pandai bermain gitar. Dia
menyanyikan lagu-lagu Filipina yang sendu. Aku tidak paham bahasa
tagalong, lirik lagu yang dia nyanyikan, tapi aku bisa merasakan betapa
indahnya lagu itu. Sambil bernyanyi, Salonga bercerita, dia dibesarkan
dengan seluruh kesedihan. Dia tidak pernah tahu siapa orang tuanya,
besar di jalanan yang keras. Dengan petikan gitarnya yang memenuhi
langit-langit ruangan, suara seraknya bernyanyi, aku seperti bisa
merasakan kepedihan lagu itu. Denting senar bernada tinggi, merobek
hati, mata Salonga berkaca-kaca.
Malam itu, tidak sebutir peluru pun
kami tembakkan. Kami hanya bergantian bermain gitar. Setelah sesi lagu
sedih, Salonga mulai menyanyikan lagu legendaris milik penyanyi dunia,
yang bisa dinyanyikan bersama. Lagu-lagu bahagia, lagu-lagu indah.
Kopong ikut bernyanyi, tertawa-tawa, bertepuk-tangan. Itu malam yang
menyenangkan.
“Latihan selesai, Bujang. Sampai pertemuan berikutnya.
Terus latih jari-jarimu di atas senar gitar, hingga jemarimu bisa
merasakan setiap mili pelatuk pistol, hingga kau bisa ‘bicara’ dengan
pistolmu. Minggu depan, aku akan mulai mengajarimu menembak sasaran
bergerak. Kau sudah siap.” Untuk pertama kalinya, Salonga tidak menutup
latihan dengan memakiku bodoh.
Pertemuan-pertemuan berikutnya
sebenarnya sangat seru, aku mulai menembak sasaran bergerak di dinding.
Dua belas sasaran, bergerak sangat cepat, dan aku harus mengenainya.
Kopong telah mempersiapkan alat latihan tersebut sesuai instruksi
Salonga. Yang tidak seru, tiga kali pertemuan, rekorku hanya enam
sasaran yang bisa kujatuhkan.
“Bodoh! Bodoh!” Salonga
memakiku—khasiat bermain gitar sebelumnya ternyata hanya bertahan tiga
pertemuan, Salonga kembali memakiku, “Berikan pistolnya padaku.”
Salonga maju ke depan, menatap lurus-lurus, menyuruh Kopong menekan
tombol peralatan, dua belas sasaran itu bergerak cepat, melintas di
dinding tembok sejauh dua puluh meter dari kami. Suara tembakan
terdengar berkali-kali, pistol memuntahkan peluru. Enam detik berlalu,
dua belas sasaran bergerak itu tumbang.
Aku terdiam. Juga Kopong di dekatku.
“Kau tidak berusaha lebih keras, Bujang! Kau pikir menjadi penembak itu
mudah, hah? Seusiamu, aku bahkan berlatih menembak ribuan kali setiap
harinya dengan peluru kosong. Melatih konsentrasi, melatih fokus,
melatih kecepatan. Aku menghabiskan waktuku sia-sia di negeri ini. Kalau
saja aku bukan buronan, aku lebih memilih dikejar harimau daripada
melatihmu. Memalukan.” Salonga meninggalkanku.
Aku terduduk di atas lantai.
Kopong menghela nafas. Kehilangan komentar, menatap dua belas sasaran
bergerak yang tergeletak. Dibandingkan dengan Salonga, tidak ada satupun
di Keluarga Tong yang bisa menandinginya, termasuk Tauke Besar
sekalipun. Salonga adalah penembak pistol terbaik seluruh Asia.
Lihatlah, dia hanya butuh enam detik untuk menghabisi dua belas sasaran
bergerak—Kopong memperlihatkan stop watch di tangannya.
Tapi aku
tidak akan menyerah. Aku bersumpah, jika aku tidak bisa sebaik Salonga,
setidaknya, aku bisa mendapatkan rasa hormat darinya. Aku bosan
dipanggil bodoh. Aku meminta kepada Kopong agar tugasku sebagai tukang
pukul berhenti sementara waktu, aku membutuhkan setiap malam sekarang
untuk berlatih. Kopong mengangguk. Mulailah aku berlatih menembak ribuan
kali seperti yang dilakukan Salonga dulu. Dengan senjata kosong. Dalam
teknik pelatihan menembak yang kupelajari dari buku-buku, itu disebut
dry-fire drills. Dimulai pukul tujuh malam, baru berakhir pukul dua
belas. Hingga tanganku terasa kebas, jemariku kesemutan.
Tiga bulan kemudian, aku berhasil menembak dua belas sasaran bergerak itu.
Salonga menyeringai tipis. Menguap, “Tidak jelek, sepuluh detik. Sampai jumpa pertemuan berikutnya, Bujang.”
Kopong tertawa, menepuk-nepuk bahuku, saat Salonga sudah hilang dibalik
pintu. Aku ikut tertawa, mengusap wajahku, menghela nafas lega. Apa
susahnya Salonga bilang, “Ini hebat sekali, Bujang,” tapi sepertinya dia
belum bersedia memujiku.
Aku sudah tiba di penghujung latihanku.
Pertama, karena memang semua teknik sudah diajarkan oleh Salonga. Kedua,
terbetik kabar, rezim berkuasa di Filipina dikudeta oleh penguasa
militer. Dengan jatuhnya presiden terpilih tersebut, konstelasi politik
di sana berubah drastis. Salonga memiliki kesempatan pulang,
membersihkan namanya.
Minggu-minggu terakhir, Salonga melatihku
bertarung satu lawan satu. Arena menembak disulap menjadi medan
pertempuran, rongsokan mobil, tumpukan ban, pohon buatan, memenuhi
ruangan. Kami masing-masing memegang pistol dengan amunisi peluru karet,
memakai helm, pelindung tubuh, bergerak dari sudut terpisah, maju,
mulai saling menembak. Malam pertama, dari enam kali percobaan, Salonga
menang enam kali, dia menembakku lebih dulu. Aku terduduk, mengaduh,
peluru karet itu tetap terasa sakit saat menghantam dada yang dilapisi
pelindung. Salonga tidak pernah menembak kepala, dia selalu menyasar
jantung.
Pertemuan berikutnya aku tetap gagal mengalahkan Salonga.
Enam pertemuan, setiap pertemuan enam sesi pertarungan, rekornya tetap
sama, enam-kosong. Aku selalu melangkah gontai setiap kali habis
latihan. Entah bagaimana aku bisa mengalahkannya. Aku sudah berusaha
secepat mungkin, setangkas mungkin, apapun yang bisa kulakukan, tetap
saja Salonga menembakku lebih dulu. Setidaknya minggu-minggu terakhir
latihan, Salonga tidak memakiku bodoh, dia hanya menepuk-nepuk pipiku,
“Itu tadi pertarungan yang seru, Bujang. Kau hampir saja membuatku
kesulitan. Sayangnya, kau masih lambat.”
Aku tertunduk, dadaku masih terasa sakit terhantam peluru karet.
Barulah, di pertemuan ke dua belas, sesi terakhir, lewat pertarungan
yang mendebarkan, berlari cepat, menghindar cepat, aku berhasil menembak
Salonga lebih dulu. Peluru karetku menghantam dadanya, Salonga
terduduk—lebih karena kaget, tidak menyangka akhirnya dia kena. Kopong
mengepalkan tangannya di pinggir arena, berseru tertahan. Kopong
terlihat sangat senang.
Itulah akhir latihanku dengan Salonga. Sama
seperti dulu ketika aku berhasil memukul Kopong, sekali saja aku
berhasil menembak Salonga, itu berarti latihan telah selesai. Salonga
tidak banyak bicara, dia melangkah diam, meninggalkan arena latihan.
Wajahnya terlipat.
“Apakah dia baik-baik saja?” Aku bertanya pada Kopong setelah Salonga pergi, melepas helm dan baju pelindung.
“Dia baik-baik saja, Bujang. Itu adalah momen paling sulit bagi seorang
guru. Ketika muridnya berhasil mengalahkannya. Aku tahu bagaimana
rasanya. Antara bangga, sedih, kecewa, semua bercampur menjadi satu.
Susah dilukiskan.”
Aku terdiam. Aku baru menyadarinya, meskipun
Salonga seperti tidak peduli dengan latihan ini, seolah hanya
menganggapnya selingan saat menjadi buronan, latihan ini sangat penting
dan emosional. Seperti mengingatkannya pada masa mudanya.
Seminggu
kemudian, Salonga kembali ke Manila, dia mendapatkan jaminan keamanan
dari penguasa militer yang berkuasa di Filipina. Sebelum berangkat, dia
menemuiku di bangunan utama Keluarga Tong. Tauke Besar dan Kopong ada di
sana. Aku tidak tahu kenapa aku tiba-tiba dipanggil, aku sudah
berpamitan dengan Salonga malam sebelumnya.
“Duduk, Bujang.” Tauke menyuruhku duduk di depan Salonga, terpisahkan meja kecil.
Aku segera duduk. Tauke dan Kopong berdiri di belakangku.
Salonga mengeluarkan sepucuk pistol colt, memutar silinder peluru,
menghentikannya, lantas meletakkan pistol itu ke tanganku, “Kau tahu,
Bujang. Ini adalah pistol yang sangat penting bagiku. Pistol pertama,
pistol terbaik yang pernah kumiliki.”
Aku menatap Salonga tidak mengerti. Menerima pistol itu.
“Di dalamnya ada enam slot peluru. Lima slot kosong, satunya berisi.
Aku sudah memutar slindernya, kita tidak tahu di mana posisi peluru itu.
Sekarang, angkat pistolnya, arahkan padaku.”
Aku terdiam. Hei, apa yang Salonga suruh?
“Lakukan apa yang dia minta, Bujang.” Tauke Besar menyuruh.
Aku menelan ludah, mengangkat pistol itu, mengarahkannya kepada Salonga.
“Tarik pelatuknya. Sekarang.” Salonga berkata dingin.
Apa? Tarik pelatuknya? Aku segera menggeleng.
“Tarik pelatuknya, Bujang!” Tauke Besar mendesak.
Aku mendesis. Ruangan kerja Tauke segera terasa menegangkan. Ini gila,
bagaimana mungkin aku akan menarik pelatuk pistol ini? Menembak Salonga?
“Hanya ada satu banding enam kemungkinan peluru di dalamnya, bodoh.
Jangan cemaskan, tarik saja pelatuknya. Atau kau begitu sepengecutnya,
tidak berani mengambil resiko.” Salonga memakiku.
Aku menggeram. Menatap Salonga di depanku. Sudah hampir satu menit pistolku teracung.
“Lakukan, Bujang. Semua kalimatku adalah perintah di rumah ini. Kau
akan mendapatkan hukuman serius jika menolak.” Tauke Besar berseru, ikut
mendesak.
“Ayo, bodoh! Tarik pelatuknya.” Salonga melotot.
***
https://www.facebook.com/tereliyewriter/posts/1459817777402119
No comments:
Post a Comment