Selain kuliah di siang hari, menjadi tukang pukul di malam hari, aku
juga meneruskan latihan rutinku. Tidak setiap malam, hanya dua kali
seminggu, di antara tugas malamku bersama tukang pukul lain, tapi itu
tetap penting. Kopong memastikanku tetap menjalankan rencana-rencana
pelatihan.
Keluarga Tong memiliki lahan luas di pinggiran ibukota
yang disulap menjadi tempat latihan. Tidak menghadap pantai, berada di
antara perumahan, tapi dengan fasilitas lebih baik. Ada trek lari di
dalamnya, jadi aku tidak perlu menyalakan api unggun, juga tersedia
fasilitas gym dan fitness, arena tinju, juga ruangan berlatih senjata
tajam dan yang lainnya. Tempat itu ramai oleh tukang pukul hingga
petang. Kosong melompong setelah malam tiba.
Kopong akhirnya
memperoleh guru baru untukku. Namanya Salonga. Usianya sepantaran dengan
Tauke. Dia jelas bukan guru biasa. Kopong mencarikan guru terbaik
untukku.
Salonga lahir miskin di kawasan Tondo, kota Manila. Sebuah
kawasan super-padat di ibukota Filipina. Gang-gang kumuh, jalan sempit,
rumah menempel rapat satu sama lain, bau pengap dari got-got, dengan
ratusan tindak kriminal terjadi setiap hari di atasnya. Salonga besar di
jalanan yang keras. Sama seperti Kopong, sejak kecil dia sudah belajar
memukul, mencuri, merampok, termasuk membunuh. Bedanya, tubuh Salonga
gempal dan pendek, tidak cocok untuk postur seorang penjahat kawakan.
Bahkan dia lebih mirip penjaga toko kelontong saat memakai kaos tanpa
kerah dan celana pendek.
Tapi ada sesuatu yang sangat spesial dari
Salonga. Itulah yang membuat Kopong dengan persetujuan Tauke Besar,
menjadikannya guru berlatihku. Berikan dia pistol, maka di tangannya,
pistol itu bisa punya mata dan telinga. Salonga adalah penembak ulung,
terbaik di benua Asia.
Aku tahu kisahnya. Usia dua puluh tahun,
Salonga sudah tercatat sebagai pembunuh bayaran nomor satu di Manila.
Dia melanglang buana ke banyak kota, menerima pesanan dari siapapun.
Catatan rekornya seratus persen, tidak ada nama yang selamat dari daftar
sasarannya. Di salah-satu perjalanan, membawanya bertemu dengan Tauke
Besar (ayah dari Tauke sekarang), mereka menjadi teman baik, termasuk
bersahabat dengan Tauke sekarang—yang belajar menembak darinya.
Lantas bagaimana Salonga bisa menjadi guruku? Inilah menariknya.
Enam bulan lalu, dia menerima klien yang sangat penting, order membunuh
calon presiden Filipina. Salonga terbiasa terlibat dalam intrik politik
di negeri manapun, tapi kali ini dia benar-benar terjebak dalam
permainan tingkat tinggi elit kekuasaan. Ada dua calon presiden yang
maju, dia harus menembak mati salah-satu diantaranya. Salonga sudah
menyusun rencana, membawa pistol kesayangannya, tidak ada yang bisa
menghentikannya. Persis di hari H, saat kampanye calon presiden itu,
Salonga datang menyamar sebagai pendukung. Ketika calon presiden itu
naik ke atas panggung, mulai berpidato, Salonga menarik cepat pistol di
pinggang, terselip di antara ribuan, tanpa tahu dari arah mana si
penembak, di tengah keramaian kampanye, Salonga melepas tembakan, persis
ke dada calon presiden. Salonga tidak suka menembak kepala, dia selalu
menyasar jantung.
Calon presiden itu tumbang. Kampanye menjadi
kacau-balau. Sesuai rencana, Salonga seharusnya dengan mudah bisa
melarikan diri dalam kerusuhan yang segara terjadi, itu sudah biasa dia
lakukan, tanpa pernah tertangkap. Sialnya, Salonga tidak menyadari dia
hanya dijadikan pion permainan. Pihak yang memintanya membunuh calon
presiden justeru datang dari calon presiden sasarannya itu sendiri.
Calon presiden itu telah menggunakan rompi anti peluru, jadi tidak mati.
Insiden penembakan itu membuat rakyat bersimpati padanya, menuduh
pelakunya adalah pesaing pemilihan. Intrik politik yang mematikan.
Nasib Salonga sial, dia dengan mudah dibekuk di acara kampanye itu,
karena semua sudah direncanakan si pemesan. Hari itu, catatan rekor
Salonga tumbang, dia diborgol, dibawa ke penjara dengan pengamanan
maksimum. Enam minggu kemudian, calon presiden yang ditembaknya
memenangkan pemilihan. Hakim tidak mempercayai kesaksiannya, Salonga
dijatuhkan hukuman mati, digantung. Beruntung baginya, dia punya kawan
lama yang kekuasaannya mulai membesar di negara tetangga. Tauke
mengetahui kasus itu, maka sebulan lalu, persis sehari sebelum eksekusi,
Tauke mengirim Kopong ke Manila. Kopong menyuap sipir dan pejabat
penjara dengan setumpuk uang, rencana disusun, Salonga berhasil
‘melarikan diri’ dalam pelarian yang epik, koran-koran setempat
menjadikannya berita utama. Dinding penjara yang hancur, jejak Salonga
yang berlari di lorong-lorong bawah tanah—tapi itu semua hanya skenario
agar tidak ada yang bisa disalahkan.
Dua hari kemudian, Salonga
tiba di ibukota bersama Kopong—bersamaan dengan pengumuman hadiah jutaan
dollar dari pemerintah berkuasa bagi siapa saja yang bisa menangkap
kembali Salonga. Tauke menawarinya tinggal di markas besar Keluarga Tong
untuk sementara waktu, setidaknya hingga rezim penguasa di negara
asalnya berganti, dan dia bisa memperoleh keadilan saat kembali. Kopong
menambahkan ide itu, meminta agar Salonga juga melatihku menembak selama
tinggal bersama kami, Tauke menyetujuinya.
Singkat cerita, akhirnya aku punya guru baru, menggantikan Guru Bushi.
Malam pertama bertemu dengannya, tidak akan aku lupakan. Jangan lihat
penampilannya, karena kalian akan tertipu, menyangkanya hanya seorang
laki-laki separuh baya pengangguran, yang lebih suka duduk melamun,
tidak peduli sekitar. Salonga menemuiku di tempat berlatih Keluarga
Tong, dia menatapku tidak peduli, menggaruk rambut yang berantakan.
Melemparkan sepucuk pistol. Di seberang kami, terpisah empat langkah
dariku—tidak jauh, sebuah tiang kayu telah berdiri dengan papan
melintang di atasnya. Di atas papan itu ada enam botol kosong.
“Namamu Bujang, bukan?” Suara Salonga terdengar serak, menggunakan bahasa Inggris.
Aku mengangguk.
“Dengarkan aku baik-baik. Ada dua peluru di dalam pistolmu, Bujang.
Latihanmu malam ini mudah. Kau harus menjatuhkan enam botol kosong di
depanmu dengan dua peluru itu.” Salonga kemudian beranjak duduk di
belakangku. Tidak peduli.
Dua peluru, enam sasaran. Aku menelan
ludah. Bagaimana caranya? Aku menoleh ke arah Kopong yang ikut
menemaniku berlatih. Kopong mengangkat bahu, berbisik, lakukan saja,
Bujang.
Malam itu, aku belajar logika menggunakan pistol paling
mendasar. Jarakku dengan enam botol itu dekat, hanya dua meter, mudah
sekali aku menjatuhkan botol kosong itu—aku pernah belajar melempar
shuriken, jadi telah memiliki pondasi menembak. Tapi dengan dua peluru
di pistol, maka hanya itu saja yang berhasil kujatuhkan. Dua botol itu
pecah berhamburan saat terkena peluru. Empat sisanya tetap berdiri di
atas papan.
“Bodoh!” Salonga memakiku.
Aku menoleh—menelan ludah, tidak menyangka akan dimaki.
“Kau kusuruh menjatuhkan enam botol dengan dua peluru. Berapa yang kau
jatuhkan, hah? Atau kau bahkan tidak bisa berhitung. Pasang lagi botol
lainnya, isi pistolmu dengan dua peluru.”
Malam itu, hanya itu
latihan yang kulakukan. Setiap kali aku menembak dua botol, Salonga
memakiku, menyuruhku memasang botol kosong baru—ada banyak botol kosong
di dalam kotak kayu, lantas memasukkan dua peluru ke dalam pistol,
mengulangi lagi latihan tersebut.
Satu jam berlalu, aku tetap tidak
bisa menjatuhkan enam botol dengan dua peluru. Wajahku merah padam
karena kesal, bagaimana cara aku melakukannya? Tidak mungkin. Aku butuh
enam peluru, maka semua botol baru bisa dijatuhkan.
Kopong mengusap wajahnya, berdiri di sebelahku, juga tidak mengerti.
Dua jam berlalu, Salonga berdiri, dia meraih paksa pistol dariku.
“Kau lihat, Bujang!” Salonga mendengus, “Pelurumu hanya dua, sedangkan
ada enam botol di depanmu. Apa yang kusuruh? Jatuhkan enam botol itu.
Lihat! Perhatikan baik-baik, bodoh!”
Tangan Salonga teracung
kedepan, pistol tidak terarah ke botol manapun, melainkan ke bawahnya.
Salonga menembak tiang kayu. Satu tembakan terdengar, tiang kayu hancur
separuh sisi, masih berdiri tapi sudah bergetar. Satu tembakan lagi
meletus, tiang kayu itu patah dua, enam botol jatuh ke lantai serempak,
pecah berhamburan.
“Pistol ini hanya benda mati, Bujang! Tidak bisa
berpikir. Tidak bisa menembak sendiri. Yang berpikir adalah orang yang
memegangnya. Tidak ada yang menyuruhmu menembak langsung botol-botol
itu, kau hanya diminta menjatuhkannya. Maka pemegang pistol yang bodoh,
hanya bergaya menembak ke botol, hore, berhasil jatuh satu, hore,
berhasil jatuh dua, untuk kemudian baru menyadari, empat yang lain tetap
di sana. Menatap bingung. Itulah pemegang pistol yang bodoh. Tapi
pemegang pistol yang pintar, dia fokus pada misinya. Kau paham, hah?”
Aku terdiam. Juga Kopong di sebelahku.
“Pelajaran malam ini cukup. Aku bosan melihat wajah anak ini. Dia sama
bodohnya seperti penembak lain. Dia butuh waktu lama sekali hingga bisa
mendengar pistol di tangannya. Entah apa yang ada di kepala Tauke saat
menjadikan anak ini anak angkatnya. Bodoh sekali.” Salonga sudah
melangkah meningalkanku, dengan muka masam.
Aku sungguh terdiam kali ini. Dalam satu tarikan nafas, Salonga sudah menyebutku bodoh dua kali.
“Jangan kau masukkan ke dalam hati, Bujang.” Kopong menepuk pundakku,
berusaha menghibur, “Dia memang suka marah-marah sejak aku membawanya
dari Filipina, dia mungkin masih sakit hati atas pengkhianatan kliennya
di sana.”
Aku menggeleng. Aku sama sekali tidak tersinggung.
Aku justeru sedang bersemangat. Aku telah menemukan guru terbaik berikutnya.
***
https://www.facebook.com/tereliyewriter/posts/1459195067464390
No comments:
Post a Comment