Sunday, 5 November 2017

#singkawang #bunga #ram

Jalan2 di kota singkawang
Bunga-bunga keren
Semangat untuk terus berjuang
Karena pasti Alloh kasih hadiah yang tak di duga-duga
#bunga #singkawang #ram #november

Monday, 30 October 2017


Selamat berjuang kawan
Banyak hal yang telah terlewati
Kerja keras dan doa orang tua serta keluarga
Dan tentunya pertolongan dari Alloh yang Maha segalanya
Dengan hasil terpantas yang engkau dapatkan
Meski ada saja yang belum bangga dan menginginkan hasil lebih
Tetap semangat
Semoga menjadi insan yang beruntung

Shesyafa

Monday, 21 August 2017

beri rahmatMu

siang yang kesekian
sakit yang kesekian
mengapa sih harus begini, mencla mencle
janjinya dulu gimana
sekarang kok gimana
emang sih aku bukan siapa2 bagimu
*lalu nanyi d'masiv
tpai kan gak seyogyanya engkau memperlakukan kami begitu
ingat ya roda kehidupan itu selalu berputar
kadang kami diatas
kadang anda yang dibawah :D
baiklah, kami akan wait n see
ntar liat aja ya

Thursday, 3 August 2017

Bukakan pintu hatinya

Mudah2an di gerak kan
Mudah2an di buka kan
Tak menyerah berdoa
Doa mengalahkan kekerasan
Doa mengalahkan kegalauan
Allohuma ana
Inallaha ma ashobirin

Monday, 17 July 2017

berbaik sangka

berbaik sangka sama Alloh
apapun yang terjadi
terkadang dada ini menyempit
berburuk sangka atas kejadian2 yang terjalani
menangis meratap

ya Alloh
lapangkanlah dada kami menerima takdirmu
ikhlaskan kehidupan kami
jadikan kami hamba2 yang tulus, mukhlis
setiap manusia mempunyai sifat masing2
seringkali kami alpa
hanya memandang manusia yang kinclong2
lupa bahwa hakikat kebaikan tak dapat dilihat dari paras
karena paras yang rupawan tak jaminan hatinya menawan
sikut sikutan
terkadang tersikut dan akan membalas menyikut juga
jaga kami ya Alloh
atas keburukan balas dendam
akan keburukan iri hati
sucikan hati kami ya Robb
tanpa Mu kami hanyalah onggokan daging tak ber hati
kami selalu mengharap kasih sayang Mu
Cinta Mu

Sunday, 16 July 2017

ke sendiri an

ah, pagi yang kulalui sepi
siang yang berlari kencang
kutemui malam yang merangkak pelan
dalam tidur selalu tak nyenyak
begitu banyak yang kupikirkan
bahkan seperti terbayang-bayang tak tentu hal

kudapati lagi pagi yang sepi
ke sendiri an yang semakin sendiri
kuceritakan pada angin ia menepis
kan kuceritakan pada embun aku tak bisa

ah entahlah
saat musibah menerpa
hanya kesabaran yang bisa menemani
mencoba berdiri tegak
meski limbung
mencoba tetap teguh berdiri meski tak mampu

paksa
paksakan diri
karena tak ada tempat bersandar
melainkan hanya pada Nya
Tuhan ku, Alloh ku

Alloh
meski ke sendiri an menimpa kami di dunia
tapi tetaplah bersama kami
kami tak mampu tanpa Mu
Alloh
maafkan kami
jika selama ini kurang baik
kurang amal
kurang banyak hal

dekap kami Alloh
dengan cinta Mu
dengan rahmat Mu
dengan kasih Mu
tanpa Mu kami sendiri an

Tuesday, 13 June 2017

we are family


lagu sepeda baru ranvi
family family ini sepeda baruku
family family hadiah dari ayahku
hehehe
gak nyambung ya
gapapalah

doa di bulan puasa ini
ya alloh, mudahkanlah urusan kami
ijabahilah doa-doa kami
semoga kami termasuk orang-orang yang beruntung
aamiin

Wednesday, 7 June 2017

ramadhan mubarak

hepy ramadhan
semoga ramadhan datang membawa berkah bagi kami
kabar kepindahan yang ditunggu2
Alloh, kami yakin engkau sangat menyayangi kami
kami nantikan pertolonganmu ya Alloh
kepada keluarga kami
semoga persangkaan baik kami menjadi kenyataan di bulan suci ini
aamiin ya rabb

Monday, 8 May 2017

sayang mama

semangat mama
ranvi sayang sama mama
doa ranvi selalu untuk mama
semoga ayah lekas pindah ke mempawah
mama juga lekas pindah ke mempawah
aamiin :*

Friday, 21 April 2017

b33 th3 b3st

s3lalu b3rusaha m3njadi yang t3rbaik
bagi diri s3ndiri dan k3luarga
gak usah muluk2 cyinnnn :p

Tuesday, 18 April 2017

Bab 11 part 2. Latihan Menembak

Selain kuliah di siang hari, menjadi tukang pukul di malam hari, aku juga meneruskan latihan rutinku. Tidak setiap malam, hanya dua kali seminggu, di antara tugas malamku bersama tukang pukul lain, tapi itu tetap penting. Kopong memastikanku tetap menjalankan rencana-rencana pelatihan.
Keluarga Tong memiliki lahan luas di pinggiran ibukota yang disulap menjadi tempat latihan. Tidak menghadap pantai, berada di antara perumahan, tapi dengan fasilitas lebih baik. Ada trek lari di dalamnya, jadi aku tidak perlu menyalakan api unggun, juga tersedia fasilitas gym dan fitness, arena tinju, juga ruangan berlatih senjata tajam dan yang lainnya. Tempat itu ramai oleh tukang pukul hingga petang. Kosong melompong setelah malam tiba.
Kopong akhirnya memperoleh guru baru untukku. Namanya Salonga. Usianya sepantaran dengan Tauke. Dia jelas bukan guru biasa. Kopong mencarikan guru terbaik untukku.
Salonga lahir miskin di kawasan Tondo, kota Manila. Sebuah kawasan super-padat di ibukota Filipina. Gang-gang kumuh, jalan sempit, rumah menempel rapat satu sama lain, bau pengap dari got-got, dengan ratusan tindak kriminal terjadi setiap hari di atasnya. Salonga besar di jalanan yang keras. Sama seperti Kopong, sejak kecil dia sudah belajar memukul, mencuri, merampok, termasuk membunuh. Bedanya, tubuh Salonga gempal dan pendek, tidak cocok untuk postur seorang penjahat kawakan. Bahkan dia lebih mirip penjaga toko kelontong saat memakai kaos tanpa kerah dan celana pendek.
Tapi ada sesuatu yang sangat spesial dari Salonga. Itulah yang membuat Kopong dengan persetujuan Tauke Besar, menjadikannya guru berlatihku. Berikan dia pistol, maka di tangannya, pistol itu bisa punya mata dan telinga. Salonga adalah penembak ulung, terbaik di benua Asia.
Aku tahu kisahnya. Usia dua puluh tahun, Salonga sudah tercatat sebagai pembunuh bayaran nomor satu di Manila. Dia melanglang buana ke banyak kota, menerima pesanan dari siapapun. Catatan rekornya seratus persen, tidak ada nama yang selamat dari daftar sasarannya. Di salah-satu perjalanan, membawanya bertemu dengan Tauke Besar (ayah dari Tauke sekarang), mereka menjadi teman baik, termasuk bersahabat dengan Tauke sekarang—yang belajar menembak darinya.
Lantas bagaimana Salonga bisa menjadi guruku? Inilah menariknya.
Enam bulan lalu, dia menerima klien yang sangat penting, order membunuh calon presiden Filipina. Salonga terbiasa terlibat dalam intrik politik di negeri manapun, tapi kali ini dia benar-benar terjebak dalam permainan tingkat tinggi elit kekuasaan. Ada dua calon presiden yang maju, dia harus menembak mati salah-satu diantaranya. Salonga sudah menyusun rencana, membawa pistol kesayangannya, tidak ada yang bisa menghentikannya. Persis di hari H, saat kampanye calon presiden itu, Salonga datang menyamar sebagai pendukung. Ketika calon presiden itu naik ke atas panggung, mulai berpidato, Salonga menarik cepat pistol di pinggang, terselip di antara ribuan, tanpa tahu dari arah mana si penembak, di tengah keramaian kampanye, Salonga melepas tembakan, persis ke dada calon presiden. Salonga tidak suka menembak kepala, dia selalu menyasar jantung.
Calon presiden itu tumbang. Kampanye menjadi kacau-balau. Sesuai rencana, Salonga seharusnya dengan mudah bisa melarikan diri dalam kerusuhan yang segara terjadi, itu sudah biasa dia lakukan, tanpa pernah tertangkap. Sialnya, Salonga tidak menyadari dia hanya dijadikan pion permainan. Pihak yang memintanya membunuh calon presiden justeru datang dari calon presiden sasarannya itu sendiri. Calon presiden itu telah menggunakan rompi anti peluru, jadi tidak mati. Insiden penembakan itu membuat rakyat bersimpati padanya, menuduh pelakunya adalah pesaing pemilihan. Intrik politik yang mematikan.
Nasib Salonga sial, dia dengan mudah dibekuk di acara kampanye itu, karena semua sudah direncanakan si pemesan. Hari itu, catatan rekor Salonga tumbang, dia diborgol, dibawa ke penjara dengan pengamanan maksimum. Enam minggu kemudian, calon presiden yang ditembaknya memenangkan pemilihan. Hakim tidak mempercayai kesaksiannya, Salonga dijatuhkan hukuman mati, digantung. Beruntung baginya, dia punya kawan lama yang kekuasaannya mulai membesar di negara tetangga. Tauke mengetahui kasus itu, maka sebulan lalu, persis sehari sebelum eksekusi, Tauke mengirim Kopong ke Manila. Kopong menyuap sipir dan pejabat penjara dengan setumpuk uang, rencana disusun, Salonga berhasil ‘melarikan diri’ dalam pelarian yang epik, koran-koran setempat menjadikannya berita utama. Dinding penjara yang hancur, jejak Salonga yang berlari di lorong-lorong bawah tanah—tapi itu semua hanya skenario agar tidak ada yang bisa disalahkan.
Dua hari kemudian, Salonga tiba di ibukota bersama Kopong—bersamaan dengan pengumuman hadiah jutaan dollar dari pemerintah berkuasa bagi siapa saja yang bisa menangkap kembali Salonga. Tauke menawarinya tinggal di markas besar Keluarga Tong untuk sementara waktu, setidaknya hingga rezim penguasa di negara asalnya berganti, dan dia bisa memperoleh keadilan saat kembali. Kopong menambahkan ide itu, meminta agar Salonga juga melatihku menembak selama tinggal bersama kami, Tauke menyetujuinya.
Singkat cerita, akhirnya aku punya guru baru, menggantikan Guru Bushi.
Malam pertama bertemu dengannya, tidak akan aku lupakan. Jangan lihat penampilannya, karena kalian akan tertipu, menyangkanya hanya seorang laki-laki separuh baya pengangguran, yang lebih suka duduk melamun, tidak peduli sekitar. Salonga menemuiku di tempat berlatih Keluarga Tong, dia menatapku tidak peduli, menggaruk rambut yang berantakan. Melemparkan sepucuk pistol. Di seberang kami, terpisah empat langkah dariku—tidak jauh, sebuah tiang kayu telah berdiri dengan papan melintang di atasnya. Di atas papan itu ada enam botol kosong.
“Namamu Bujang, bukan?” Suara Salonga terdengar serak, menggunakan bahasa Inggris.
Aku mengangguk.
“Dengarkan aku baik-baik. Ada dua peluru di dalam pistolmu, Bujang. Latihanmu malam ini mudah. Kau harus menjatuhkan enam botol kosong di depanmu dengan dua peluru itu.” Salonga kemudian beranjak duduk di belakangku. Tidak peduli.
Dua peluru, enam sasaran. Aku menelan ludah. Bagaimana caranya? Aku menoleh ke arah Kopong yang ikut menemaniku berlatih. Kopong mengangkat bahu, berbisik, lakukan saja, Bujang.
Malam itu, aku belajar logika menggunakan pistol paling mendasar. Jarakku dengan enam botol itu dekat, hanya dua meter, mudah sekali aku menjatuhkan botol kosong itu—aku pernah belajar melempar shuriken, jadi telah memiliki pondasi menembak. Tapi dengan dua peluru di pistol, maka hanya itu saja yang berhasil kujatuhkan. Dua botol itu pecah berhamburan saat terkena peluru. Empat sisanya tetap berdiri di atas papan.
“Bodoh!” Salonga memakiku.
Aku menoleh—menelan ludah, tidak menyangka akan dimaki.
“Kau kusuruh menjatuhkan enam botol dengan dua peluru. Berapa yang kau jatuhkan, hah? Atau kau bahkan tidak bisa berhitung. Pasang lagi botol lainnya, isi pistolmu dengan dua peluru.”
Malam itu, hanya itu latihan yang kulakukan. Setiap kali aku menembak dua botol, Salonga memakiku, menyuruhku memasang botol kosong baru—ada banyak botol kosong di dalam kotak kayu, lantas memasukkan dua peluru ke dalam pistol, mengulangi lagi latihan tersebut.
Satu jam berlalu, aku tetap tidak bisa menjatuhkan enam botol dengan dua peluru. Wajahku merah padam karena kesal, bagaimana cara aku melakukannya? Tidak mungkin. Aku butuh enam peluru, maka semua botol baru bisa dijatuhkan.
Kopong mengusap wajahnya, berdiri di sebelahku, juga tidak mengerti.
Dua jam berlalu, Salonga berdiri, dia meraih paksa pistol dariku.
“Kau lihat, Bujang!” Salonga mendengus, “Pelurumu hanya dua, sedangkan ada enam botol di depanmu. Apa yang kusuruh? Jatuhkan enam botol itu. Lihat! Perhatikan baik-baik, bodoh!”
Tangan Salonga teracung kedepan, pistol tidak terarah ke botol manapun, melainkan ke bawahnya. Salonga menembak tiang kayu. Satu tembakan terdengar, tiang kayu hancur separuh sisi, masih berdiri tapi sudah bergetar. Satu tembakan lagi meletus, tiang kayu itu patah dua, enam botol jatuh ke lantai serempak, pecah berhamburan.
“Pistol ini hanya benda mati, Bujang! Tidak bisa berpikir. Tidak bisa menembak sendiri. Yang berpikir adalah orang yang memegangnya. Tidak ada yang menyuruhmu menembak langsung botol-botol itu, kau hanya diminta menjatuhkannya. Maka pemegang pistol yang bodoh, hanya bergaya menembak ke botol, hore, berhasil jatuh satu, hore, berhasil jatuh dua, untuk kemudian baru menyadari, empat yang lain tetap di sana. Menatap bingung. Itulah pemegang pistol yang bodoh. Tapi pemegang pistol yang pintar, dia fokus pada misinya. Kau paham, hah?”
Aku terdiam. Juga Kopong di sebelahku.
“Pelajaran malam ini cukup. Aku bosan melihat wajah anak ini. Dia sama bodohnya seperti penembak lain. Dia butuh waktu lama sekali hingga bisa mendengar pistol di tangannya. Entah apa yang ada di kepala Tauke saat menjadikan anak ini anak angkatnya. Bodoh sekali.” Salonga sudah melangkah meningalkanku, dengan muka masam.
Aku sungguh terdiam kali ini. Dalam satu tarikan nafas, Salonga sudah menyebutku bodoh dua kali.
“Jangan kau masukkan ke dalam hati, Bujang.” Kopong menepuk pundakku, berusaha menghibur, “Dia memang suka marah-marah sejak aku membawanya dari Filipina, dia mungkin masih sakit hati atas pengkhianatan kliennya di sana.”
Aku menggeleng. Aku sama sekali tidak tersinggung.
Aku justeru sedang bersemangat. Aku telah menemukan guru terbaik berikutnya.
***
https://www.facebook.com/tereliyewriter/posts/1459195067464390

Bab 12 part 1. Mamak Pergi

Aku akan membuktikan kepada Salonga bahwa aku layak menjadi muridnya. Aku akan berlatih lebih keras dibanding yang dia bisa bayangkan.
Maka aku datang ke tempat latihan lebih cepat satu jam sebelum Salonga tiba, dan baru pulang satu jam setelah Salonga memakiku bodoh, sebagai kalimat penutup sesi latihan. Minggu-minggu pertama, mau dikata apa, aku memang terlihat bodoh jika mengacu standar Salonga. Dia terus memberikan perintah ganjil, seperti menembak sebuah kaleng susu kosong dari jarak tiga meter. Itu mudah, aku bisa mengenai kaleng itu berkali-kali, tapi permintaan Salonga adalah, peluru yang mengenai kaleng itu harus ada di dalam kaleng, tidak tembus keluar.
Ratusan percobaan dilakukan, mau bagaimanapun aku melakukannya, peluru tetap menembus kaleng.
“Peluru mahal, Bujang! Kau pikir, karena ayah angkat kau kaya, maka kau bebas menghamburkan peluru, hah?” Salonga bersungut-sungut, menunjuk peluru yang berserakan di depan kami, juga kaleng-kaleng yang berjatuhan ditembus peluru.
Aku menyeka peluh di pelipis. Ruangan latihan terasa gerah. Aku sudah mencoba menembak dari sudut manapun, cara apapun, tetap saja peluru itu tidak tersangkut di dalam kaleng.
“Berikan padaku!” Salonga mengambil kasar pistol dari tanganku. Dia melangkah mendekati papan, meletakkan dua kaleng di atasnya, berbaris. Satu kaleng di depan, satu lagi di belakang, lantas menembak cepat. Dua kaleng itu berhamburan jatuh.
Salonga meraih kaleng kedua di lantai, yang sebelumnya berada di belakang. Menggoncangkannya, peluru jelas berada di dalam kaleng, terdengar berkelontangan.
“Lihat! Apa susahnya melakukannya?”
Aku hendak berseru kesal. Salonga tidak bilang kalau aku boleh meletakkan dua kaleng di atas papan, membiarkan peluru menembus kaleng pertama, tapi dengan kecepatan yang berkurang, peluru hanya bisa melewati separuh kaleng kedua, lantas terhenti di dalamnya. Kopong juga terlihat protes.
“Penembak yang baik selalu tahu persis kekuatan pistolnya, Bujang. Dia tahu pelurunya akan tiba di mana, bisa menembus apa saja, dan semua tabiat pistolnya. Bagi penembak, pistol seperti kekasih hati, dia memahaminya dengan baik. Kau sudah tahu, mau kapanpun, peluru pistolmu akan terus menembus kaleng, karena dia terlalu kuat, maka jika misimu adalah masukkan peluru ke dalam kaleng, pikirkan cara lain, letakkan dua kelang di sana, atau apapun yang bisa membuatnya melambat. Bukan malah berusaha menyesuaikan pistolmu. Karena kau yang harus memahami pistolmu, bodoh, bukan benda mati yang memahamimu.” Salonga lebih dulu berseru ketus, melemparkan kaleng berisi peluru.
“Cukup untuk malam ini. Kau hanya menyia-nyiakan waktuku.”
Salonga melangkah, punggungnya hilang dibalik pintu.
“Kau baik-baik saja, Bujang?” Kopong bertanya pelan.
Aku menggeram, mengepalkan tanganku. Yeah, aku baik-baik saja. Belum pernah aku dimaki berkali-kali seperti ini, seolah tidak ada harganya. Bodoh-bodoh begini, aku bisa menembak jitu sasaran sejauh empat puluh meter dengan pistol.
Tapi minggu-minggu berikutnya, kemajuanku pesat. Aku tahu, Salonga bukan hanya mengajariku menembak, melatih akurasi tembakan, dia sekaligus sedang menanamkan filosofi mendasar bagi seorang penembak. Pistol bukan hanya senjata bagi Salonga, lebih dari itu. Aku menuruti apa yang dia mau, berpikir lebih terbuka, dan berusaha menerjemahkan filosofi latihannya.
Akhir bulan kedua, Salonga menyuruhku melatih sentuhan jariku, agar bisa lebih sensitif saat menarik pelatuk pistol.
“Kau pikirkan caranya, Bujang. Pertemuan berikutnya aku ingin tahu latihan apa yang kau pilih. Ingat, latihan agar jemarimu bisa seperti menari, bukan melatih dia kuat atau hal bodoh lainnya.”
Aku mengangguk, aku akan memikirkannya siang-malam, meski aku tidak tahu apa jenis latihannya. Esoknya Kopong memberikan beberapa ide, termasuk hand grip, yang biasa digunakan tukang pukul saat melatih jari. Aku menggeleng, itu jelas salah-satu ide bodoh menurut versi Salonga.
Pertemuan berikutnya, aku memutuskan membawa gitar.
Malam itu untuk pertama kalinya Salonga menatapku lebih bersahabat.
“Kau bisa bermain gitar, Bujang?” Salonga bertanya setiba di tempat latihan.
Aku mengangguk. Di kota provinsi dulu, kami sering berkumpul di meja panjang, kemudian mengisi sisa malam dengan bernyanyi. Ada banyak tukang pukul yang suka memainkan gitar.
“Berikan padaku, Bujang.” Salonga duduk di sebelahku.
Aku menyerahkan gitar itu.
Saat Salonga mulai memetik gitar, aku dan Kopong terdiam, menelan ludah. Aku tidak pernah menyangka Salonga pandai bermain gitar. Dia menyanyikan lagu-lagu Filipina yang sendu. Aku tidak paham bahasa tagalong, lirik lagu yang dia nyanyikan, tapi aku bisa merasakan betapa indahnya lagu itu. Sambil bernyanyi, Salonga bercerita, dia dibesarkan dengan seluruh kesedihan. Dia tidak pernah tahu siapa orang tuanya, besar di jalanan yang keras. Dengan petikan gitarnya yang memenuhi langit-langit ruangan, suara seraknya bernyanyi, aku seperti bisa merasakan kepedihan lagu itu. Denting senar bernada tinggi, merobek hati, mata Salonga berkaca-kaca.
Malam itu, tidak sebutir peluru pun kami tembakkan. Kami hanya bergantian bermain gitar. Setelah sesi lagu sedih, Salonga mulai menyanyikan lagu legendaris milik penyanyi dunia, yang bisa dinyanyikan bersama. Lagu-lagu bahagia, lagu-lagu indah. Kopong ikut bernyanyi, tertawa-tawa, bertepuk-tangan. Itu malam yang menyenangkan.
“Latihan selesai, Bujang. Sampai pertemuan berikutnya. Terus latih jari-jarimu di atas senar gitar, hingga jemarimu bisa merasakan setiap mili pelatuk pistol, hingga kau bisa ‘bicara’ dengan pistolmu. Minggu depan, aku akan mulai mengajarimu menembak sasaran bergerak. Kau sudah siap.” Untuk pertama kalinya, Salonga tidak menutup latihan dengan memakiku bodoh.
Pertemuan-pertemuan berikutnya sebenarnya sangat seru, aku mulai menembak sasaran bergerak di dinding. Dua belas sasaran, bergerak sangat cepat, dan aku harus mengenainya. Kopong telah mempersiapkan alat latihan tersebut sesuai instruksi Salonga. Yang tidak seru, tiga kali pertemuan, rekorku hanya enam sasaran yang bisa kujatuhkan.
“Bodoh! Bodoh!” Salonga memakiku—khasiat bermain gitar sebelumnya ternyata hanya bertahan tiga pertemuan, Salonga kembali memakiku, “Berikan pistolnya padaku.”
Salonga maju ke depan, menatap lurus-lurus, menyuruh Kopong menekan tombol peralatan, dua belas sasaran itu bergerak cepat, melintas di dinding tembok sejauh dua puluh meter dari kami. Suara tembakan terdengar berkali-kali, pistol memuntahkan peluru. Enam detik berlalu, dua belas sasaran bergerak itu tumbang.
Aku terdiam. Juga Kopong di dekatku.
“Kau tidak berusaha lebih keras, Bujang! Kau pikir menjadi penembak itu mudah, hah? Seusiamu, aku bahkan berlatih menembak ribuan kali setiap harinya dengan peluru kosong. Melatih konsentrasi, melatih fokus, melatih kecepatan. Aku menghabiskan waktuku sia-sia di negeri ini. Kalau saja aku bukan buronan, aku lebih memilih dikejar harimau daripada melatihmu. Memalukan.” Salonga meninggalkanku.
Aku terduduk di atas lantai.
Kopong menghela nafas. Kehilangan komentar, menatap dua belas sasaran bergerak yang tergeletak. Dibandingkan dengan Salonga, tidak ada satupun di Keluarga Tong yang bisa menandinginya, termasuk Tauke Besar sekalipun. Salonga adalah penembak pistol terbaik seluruh Asia. Lihatlah, dia hanya butuh enam detik untuk menghabisi dua belas sasaran bergerak—Kopong memperlihatkan stop watch di tangannya.
Tapi aku tidak akan menyerah. Aku bersumpah, jika aku tidak bisa sebaik Salonga, setidaknya, aku bisa mendapatkan rasa hormat darinya. Aku bosan dipanggil bodoh. Aku meminta kepada Kopong agar tugasku sebagai tukang pukul berhenti sementara waktu, aku membutuhkan setiap malam sekarang untuk berlatih. Kopong mengangguk. Mulailah aku berlatih menembak ribuan kali seperti yang dilakukan Salonga dulu. Dengan senjata kosong. Dalam teknik pelatihan menembak yang kupelajari dari buku-buku, itu disebut dry-fire drills. Dimulai pukul tujuh malam, baru berakhir pukul dua belas. Hingga tanganku terasa kebas, jemariku kesemutan.
Tiga bulan kemudian, aku berhasil menembak dua belas sasaran bergerak itu.
Salonga menyeringai tipis. Menguap, “Tidak jelek, sepuluh detik. Sampai jumpa pertemuan berikutnya, Bujang.”
Kopong tertawa, menepuk-nepuk bahuku, saat Salonga sudah hilang dibalik pintu. Aku ikut tertawa, mengusap wajahku, menghela nafas lega. Apa susahnya Salonga bilang, “Ini hebat sekali, Bujang,” tapi sepertinya dia belum bersedia memujiku.
Aku sudah tiba di penghujung latihanku. Pertama, karena memang semua teknik sudah diajarkan oleh Salonga. Kedua, terbetik kabar, rezim berkuasa di Filipina dikudeta oleh penguasa militer. Dengan jatuhnya presiden terpilih tersebut, konstelasi politik di sana berubah drastis. Salonga memiliki kesempatan pulang, membersihkan namanya.
Minggu-minggu terakhir, Salonga melatihku bertarung satu lawan satu. Arena menembak disulap menjadi medan pertempuran, rongsokan mobil, tumpukan ban, pohon buatan, memenuhi ruangan. Kami masing-masing memegang pistol dengan amunisi peluru karet, memakai helm, pelindung tubuh, bergerak dari sudut terpisah, maju, mulai saling menembak. Malam pertama, dari enam kali percobaan, Salonga menang enam kali, dia menembakku lebih dulu. Aku terduduk, mengaduh, peluru karet itu tetap terasa sakit saat menghantam dada yang dilapisi pelindung. Salonga tidak pernah menembak kepala, dia selalu menyasar jantung.
Pertemuan berikutnya aku tetap gagal mengalahkan Salonga. Enam pertemuan, setiap pertemuan enam sesi pertarungan, rekornya tetap sama, enam-kosong. Aku selalu melangkah gontai setiap kali habis latihan. Entah bagaimana aku bisa mengalahkannya. Aku sudah berusaha secepat mungkin, setangkas mungkin, apapun yang bisa kulakukan, tetap saja Salonga menembakku lebih dulu. Setidaknya minggu-minggu terakhir latihan, Salonga tidak memakiku bodoh, dia hanya menepuk-nepuk pipiku, “Itu tadi pertarungan yang seru, Bujang. Kau hampir saja membuatku kesulitan. Sayangnya, kau masih lambat.”
Aku tertunduk, dadaku masih terasa sakit terhantam peluru karet.
Barulah, di pertemuan ke dua belas, sesi terakhir, lewat pertarungan yang mendebarkan, berlari cepat, menghindar cepat, aku berhasil menembak Salonga lebih dulu. Peluru karetku menghantam dadanya, Salonga terduduk—lebih karena kaget, tidak menyangka akhirnya dia kena. Kopong mengepalkan tangannya di pinggir arena, berseru tertahan. Kopong terlihat sangat senang.
Itulah akhir latihanku dengan Salonga. Sama seperti dulu ketika aku berhasil memukul Kopong, sekali saja aku berhasil menembak Salonga, itu berarti latihan telah selesai. Salonga tidak banyak bicara, dia melangkah diam, meninggalkan arena latihan. Wajahnya terlipat.
“Apakah dia baik-baik saja?” Aku bertanya pada Kopong setelah Salonga pergi, melepas helm dan baju pelindung.
“Dia baik-baik saja, Bujang. Itu adalah momen paling sulit bagi seorang guru. Ketika muridnya berhasil mengalahkannya. Aku tahu bagaimana rasanya. Antara bangga, sedih, kecewa, semua bercampur menjadi satu. Susah dilukiskan.”
Aku terdiam. Aku baru menyadarinya, meskipun Salonga seperti tidak peduli dengan latihan ini, seolah hanya menganggapnya selingan saat menjadi buronan, latihan ini sangat penting dan emosional. Seperti mengingatkannya pada masa mudanya.
Seminggu kemudian, Salonga kembali ke Manila, dia mendapatkan jaminan keamanan dari penguasa militer yang berkuasa di Filipina. Sebelum berangkat, dia menemuiku di bangunan utama Keluarga Tong. Tauke Besar dan Kopong ada di sana. Aku tidak tahu kenapa aku tiba-tiba dipanggil, aku sudah berpamitan dengan Salonga malam sebelumnya.
“Duduk, Bujang.” Tauke menyuruhku duduk di depan Salonga, terpisahkan meja kecil.
Aku segera duduk. Tauke dan Kopong berdiri di belakangku.
Salonga mengeluarkan sepucuk pistol colt, memutar silinder peluru, menghentikannya, lantas meletakkan pistol itu ke tanganku, “Kau tahu, Bujang. Ini adalah pistol yang sangat penting bagiku. Pistol pertama, pistol terbaik yang pernah kumiliki.”
Aku menatap Salonga tidak mengerti. Menerima pistol itu.
“Di dalamnya ada enam slot peluru. Lima slot kosong, satunya berisi. Aku sudah memutar slindernya, kita tidak tahu di mana posisi peluru itu. Sekarang, angkat pistolnya, arahkan padaku.”
Aku terdiam. Hei, apa yang Salonga suruh?
“Lakukan apa yang dia minta, Bujang.” Tauke Besar menyuruh.
Aku menelan ludah, mengangkat pistol itu, mengarahkannya kepada Salonga.
“Tarik pelatuknya. Sekarang.” Salonga berkata dingin.
Apa? Tarik pelatuknya? Aku segera menggeleng.
“Tarik pelatuknya, Bujang!” Tauke Besar mendesak.
Aku mendesis. Ruangan kerja Tauke segera terasa menegangkan. Ini gila, bagaimana mungkin aku akan menarik pelatuk pistol ini? Menembak Salonga?
“Hanya ada satu banding enam kemungkinan peluru di dalamnya, bodoh. Jangan cemaskan, tarik saja pelatuknya. Atau kau begitu sepengecutnya, tidak berani mengambil resiko.” Salonga memakiku.
Aku menggeram. Menatap Salonga di depanku. Sudah hampir satu menit pistolku teracung.
“Lakukan, Bujang. Semua kalimatku adalah perintah di rumah ini. Kau akan mendapatkan hukuman serius jika menolak.” Tauke Besar berseru, ikut mendesak.
“Ayo, bodoh! Tarik pelatuknya.” Salonga melotot.
***
https://www.facebook.com/tereliyewriter/posts/1459817777402119

Bab 12 part 2. Mamak Pergi

Tiga puluh detik berlalu, aku akhirnya meletakkan pistol itu di atas meja.
“Tidak. Aku tidak akan melakukannya.” Aku menjawab tegas.
Ruangan kerja Tauke Besar lengang sejenak.
Salonga akhirnya mengangguk. Tauke terkekeh.
“Lihat, tebakanku benar, bukan? Dia tidak akan menembakmu, bahkan saat aku memaksanya melakukan. Anak ini sangat berbeda.”
Aku menghembuskan nafas perlahan. Semua ini ternyata ujian, latihan terakhir dari Salonga. Tapi kali ini aku berhasil melewatinya dengan baik. Hampir saja aku menarik pelatuk pistol itu, tapi sekejap, di detik yang sangat krusial, aku mengerti filosofinya. Pistol hanyalah pistol, benda ini mematikan, tapi itu semua tergantung pada pemegangnya. Aku tidak akan menembak Salonga, bahkan jika kemungkinan pelurunya keluar satu banding seribu. Aku tidak punya alasan baik melakukannya—bahkan sekalipun Tauke Besar menyuruhku. Aku memilih hukuman dari Tauke daripada menembak Salonga.
“Aku tahu kenapa kau mengangkatnya menjadi anak, Tauke.” Salonga berdiri, “Pertama, tangannya sama sekali tidak gemetar saat mengacungkan pistol kepadaku, dia selalu tenang dalam situasi genting apapun. Kedua, kau benar, dia memiliki cara berpikir yang berbeda dibanding tukang pukul lainnya. Kesetiaan anak ini ada pada prinsip, bukan pada orang atau kelompok. Di masa-masa sulit, hanya kesetiaan seperti itulah yang akan memanggil kesetiaan-kesetiaan terbaik lainnya. Selamat tinggal, Kawan. Terima kasih banyak telah menyelamatkanku dari tiang gantungan, sekaligus memberikanku tempat selama menjadi buronan.”
Salonga dan Tauke Besar berpelukan.
Aku ikut berdiri, hendak mengembalikan pistol colt.
Salonga menggeleng, “Itu milikmu, Bujang.”
Aku menatap Salonga tidak mengerti.
“Pistol colt itu aku terima dari guru menembakku dulu. Dia pernah bilang, suatu saat, berikan pistol itu kepada murid terbaikmu. Aku sudah menyimpannya selama tiga puluh tahun, hari ini aku memberikannya kepadamu. Kau adalah murid terbaikku. Besok lusa, giliranmu mewariskannya.”
Aku terdiam, menatap pistol colt itu.
Sejak saat itu, satu-satunya senjata yang kubawa kemana-mana adalah pistol colt hadiah dari Salonga. Bukan semata karena aku membutuhkannya, tapi sebagian karena nostalgia. Bahwa, kesetiaan terbaik adalah pada prinsip-prinsip hidup, bukan pada yang lain.
***
Sementara itu, kesibukan di kampus sama tingginya.
Aku menghadiri kuliah, duduk diantara mahasiswa lain, mengerjakan tugas kelompok, berdiskusi dengan dosen. Kehidupanku berjalan normal, tidak ada teman kampus yang tahu dimana aku tinggal. Aku hanya bilang aku menumpang dengan Paman, dan Pamanku tidak suka orang lain datang ke rumah. Semua serba misterius. Untuk mengurangi perhatian, aku pergi ke universitas menumpang angkutan umum, berpakaian sama seperti yang lain.
Saat Salonga pergi, aku sudah di tahun terakhir kuliahku, lebih cepat dibanding siapapun. Saat mengerjakan skripsi, aku mengambil topik yang sangat kukuasai, shadow economy. Penelitianku berjudul, “Bukti Empiris Pengaruh Shadow Economy Terhadap Pertumbuhan Ekonomi.”Profesor pengujiku, seorang guru besar ekonomi berusia lanjut menghela nafas, bersandar di kursinya, “Nak, ini horor. Belum pernah aku melihat sebuah kajian begitu mendalam, begitu detail. Kau seperti berada di dalamnya. Kau seperti anggota keluarga penguasa shadow economy.”
Aku hanya tersenyum tipis. Skripsi mendapatkan nilai sempurna.
Usai wisuda yang hanya dihadiri Frans si Amerika—agar tidak mencolok, Tauke Besar merayakan kelulusanku, dia mengadakan jamuan makan malam di bangunan utama. Meja panjang dipenuhi oleh tukang pukul, mereka bersulang untukku.
“Aku ingat,” Salah-satu tukang pukul tertawa, “Dia menyambar kayu bakar api unggun, lantas seperti sapi terluka mengejar kita semua.”
Yang lain tertawa, menepuk meja, mengenang kejadian amok tujuh tahun silam.
“Aku juga ingat. Saat tiba pertama kali, dia sangat pendiam. Lebih banyak memperhatikan.” Tukang pukul lain menimpali, “Dan dia mudah sekali percaya apa yang diomongkan oleh Basyir. Astaga, dia satu-satunya penghuni mess kanan yang bersedia mendengar bualan Basyir tentang suku Bedouin.”
“Hei! Hei! Apa kau bilang!” Basyir berseru, tangannya terangkat, tidak terima namanya disebut.
Meja panjang kembali dipenuhi tawa.
“Tidak kusangka, Bujang. Anak yang tidak beralas kaki, kotor kakinya oleh licak lumpur, berjalan melintasi lorong rumah, hari ini telah menjadi sarjana.” Salah-satu tukang pukul senior mengacungkan gelasnya, “Mari kita bersulang untuk, Bujang.”
Seluruh tukang pukul mengangkat gelasnya—termasuk Kopong dan Tauke yang duduk di ujung meja.
“Untuk masa depan Bujang yang cemerlang.” Yang lain berseru.
“Untuk masa depan Keluarga Tong.” Yang lain menambahkan.
“Untuk kita semua!”
Seluruh tukang pukul menghabiskan isi gelas sekali tenggak.
Acara jamuan itu berjalan menyenangkan.
“Ayolah, Bujang, ini jamuan untukmu, kau tetap tidak mau minum tuak sekarang?” Salah-satu tukang pukul tertawa, sengaja menggodaku.
Aku menggeleng tegas. Tidak.
“Sial sekali. Bahkan setelah tujuh tahun, dia tetap tidak berubah soal minuman ini.” Yang lain menimpali, “Dia tidak tahu betapa nikmatnya tuak ini.”
Meja panjang dipenuhi oleh tawa.
Hari itu, sepertinya semua akan berjalan sempurna bagiku. Aku telah diwisuda menjadi sarjana, Tauke telah bicara tentang rencana-rencana, bahwa aku akan melanjutkan kuliah di luar negeri, sekaligus belajar banyak hal di sana. Karirku sebagai tukang pukul sama menterengnya seperti Basyir, semua kehidupanku di markas Keluarga Tong tiada tanding. Tapi ternyata, beberapa jam kemudian, datanglah kabar yang menghapus semuanya.
Kebahagiaan sepanjang hari itu bagai pasir yang disiram air, hilang tak berbekas.
Adalah Tauke sendiri yang datang ke kamarku, membawa kabar itu. Dia ditemani Kopong. Pukul empat pagi, saat semua anggota Keluarga Tong sedang lelap tidur.
Tauke menyerahkan sepucuk surat, aku menerimanya dengan mata memicing. Ini apa?
Surat itu ditulis oleh Bapakku, di atas kertas kusam, yang terlihat jelas basah oleh tetes air mata yang telah mengering. Aku membacanya dengan suara tercekat. Ini kabar duka cita.
“Anakku Bujang,
Pagi ini, Mamakmu telah tiada. Mamakmu telah pergi selama-lamanya. Dia wafat dengan tenang, sambil menyebut namamu lirih serta mendekap pigura fotomu. Mamakmu sudah sakit-sakitan sejak sebulan lalu. Mantri dari kota kecamatan tak kuasa lagi menolongnya.
Siang ini juga, Mamak kau telah dikebumikan di dekat ladang padi kita. Seluruh penduduk talang datang, pemakamannya ramai. Banyak yang mendoakan Mamak kau. Maafkan Bapak jika tidak pernah memberitahumu perkara Mamak kau sakit keras, Bujang. Tapi itu pesan Mamak kau, agar kau tidak memikirkan banyak hal. Tentu ada banyak pekerjaan yang harus kau lakukan di kota sana. Mamak kau cemas jika kabar sakitnya menganggu.
Semoga kau senantiasa sukses di sana, Nak. Kau tahu, Bujang, tiada pernah alfa walau semalam pun, tiada pernah tinggal walau sehari pun, Mamak kau mendoakan kau yang terbaik. Dia selalu merindukanmu, selalu menyebut namamu dalam doa semasa hidup. Ingatlah apapun pesan Mama kau, Bujang, patuhi hingga kapanpun.
Bapak kau, Syahdan.”
Aku terhenyak.
Sungguh, jika manusia dikenali dengan lima emosi, aku memang tidak lagi memiliki rasa takut. Tapi aku masih memiliki emosi sedih. Kertas kusam dengan bekas tetes air mata itu terjatuh dari tanganku, melayang hinggap di lantai, bersamaan dengan tubuhku yang terduduk di atas ranjang. Mamak telah pergi? Aku tidak percaya. Aku tidak mau menerima kenyataan itu. Surat ini pastilah dusta.
“Kau kenapa, Bujang?” Kopong bertanya dengan suara cemas.
Tapi bagaimanalah? Surat ini jelas ditulis Bapak. Air mata Bapak telah membuat kertas ini menjadi kusam. Ya Tuhan? Aku menatap kosong, mataku pedas, hatiku bagai diiris sembilu.
Aku menangis dalam senyap. Terisak tanpa suara.
“Kau baik-baik saja, Bujang?” Kopong berusaha mendekat.
“Sebaiknya kita pergi, Kopong.” Tauke mengingatkan, melarang Kopong.
Kopong terlihat bingung.
“Biarkan Bujang sendirian. Dia membutuhkan kesendirian saat menerima kabar seperti ini. Kau tidak akan membantu banyak. Tenang saja, dia baik-baik saja.” Tauke Besar sudah melangkah meninggalkan kamar, disusul Kopong beberapa menit kemudian.
Kamarku hening, hanya menyisakan sesak nafasku.
Aku beringsut, meringkuk di pojok kasur. Mamak telah pergi? Wajah Mamak yang mengenakan tudung melintas di hadapanku. Wajahnya yang tersenyum menatapku. Suara Mamak yang fals seperti terngiang di telingaku. Berteriak menyuruhku agar hati-hati saat mengambil kayu bakar. Wajah Mamak saat mengelap wajahku yang sedang demam, meletakkan kompres air di dahi. Wajah Mamak yang lembut mengajariku membaca, menulis dan berhitung.
Aku menangis. Ya Tuhan?
Adzan subuh terdengar dari masjid dekat markas Keluarga Tong, suaranya sayup-sayup tiba di kamarku. Aku tergugu, aku ingat dulu Mamak sering mengajariku mengaji, juga mengajariku mengumandangkan adzan. Meski aku tidak pernah melakukannya—karena di talang jangankan masjid, langgar pun tak ada. Pun kalau ada, Bapak akan memukulku tanpa ampun jika tahu aku belajar agama. Bapak benci sekali jika tahu aku masih belajar segala sesuatu yang menyangkut Tuanku Imam.
Suara adzan itu semakin terang terdengar. Begitu merdu, mengalun lembut.
Aku memeluk lutut. Tergugu. Air mataku mengalir membasahi pipi.
Seluruh kebahagiaanku 24 jam terakhir seperti menghilang begitu saja.
Mamak telah pergi, selama-lamanya.
***
https://www.facebook.com/tereliyewriter/posts/1461070137276883

13. Salonga Dari Tondo

Pesawat jet yang dikemudikan oleh Edwin sudah mendekati Manila, dia memberitahuku lewat intercom. Aku terbangun, memperbaiki posisi duduk, memasang sabuk pengaman. Selepas dari Hong Kong menurunkan si kembar dan White, aku memutuskan tidur, beristirahat sejenak. Sekarang sudah hampir pukul tujuh pagi, menatap keluar jendela, awan putih mengambang di sekitar pesawat, matahari sudah terang.
Lima belas menit kemudian, pesawat jet mendarat mulus di bandara. Aku melangkah turun, sedan hitam telah menungguku di hanggar pesawat. Aku punya kontak di berbagai negara, lewat telepon singkat, mereka bisa menyiapkan dengan cepat kebutuhan logistik setiba aku di sana. Mengemudikan sedan itu menuju pusat kota Manila.
Hari kerja pertama setelah libur, jalanan padat. Mobilku merayap. Tapi itu tidak masalah, aku bisa mengerjakan beberapa hal selama perjalanan.
Yang pertama, Parwez meneleponku.
“Kapal kontainer itu sudah kembali melepas sauh, Bujang. Anak buahnya utuh, juga seluruh barang bawaannya. Terima kasih bantuannya.”
Aku mengangguk. Sudah seharusnya demikian. Perompak itu tidak akan pernah berani berurusan dengan penguasa shadow economy. Pasukan militer milik pemerintah tetap punya prosedur jika hendak menyerang, ada negosiasi, tahapan-tahapan, tapi kami, sekali jengkel, seluruh desa asal perompak itu bisa dihabisi. Mereka menahan kapal kami, maka kami akan menahan seluruh keluarganya. Mereka melukai awak kapal kami, maka kami akan melukai seluruh keluarganya.
“Kau berada di mana sekarang?”
“Manila.” Aku menjawab pendek.
“Kapan kau kembali?”
“Jika semua lancar, malam ini sudah tiba di markas besar. Ada apa?”
“Ada yang ganjil sepagi ini di kantorku, Bujang.” Parwez mengecilkan suaranya, entah dia takut didengar siapa, “Ada banyak orang-orang yang tidak dikenali security kantor, mereka masuk ke lobi, lantai-lantai tertentu, termasuk ke lantai dengan akses keamanan tingkat tinggi.”
“Mereka bukan tamu kantor?” Aku memastikan. Parwez berkantor di jalan protokol ibukota, gedung tiga puluh lantai, di sana jelas banyak kantor perusahaan Keluarga Tong. Boleh jadi orang-orang itu adalah kolega, klien, konsumen, supplier atau entahlah.
“Awalnya aku pikir begitu, mereka mungkin ada keperluan bisnis, tapi ini ganjil, Bujang. Aku tidak ahli soal ini, aku hanya tahu tentang perusahaan, bukan tukang pukul. Tapi pagi ini, sekretarisku menerima dua orang yang bilang mereka punya jadwal pertemuan denganku. Aku tidak mengenalnya, dan tidak ada nama mereka dalam daftar tamu. Sekretarisku menolak mereka, mengambil inisiatif memeriksa kantor di lantai lain. Polanya sama.”
Aku terdiam. Laporan Parwez serius.
“Kau sudah menelepon Basyir?”
“Sudah. Dia dan beberapa Letnan sedang dalam perjalanan menuju ke kantor.”
“Sementara kau selesaikan dengan Basyir. Setiba di sana, aku akan membantu memastikan siapa mereka, dan apa tujuan mereka. Jangan bertemu dengan siapapun yang kau tidak kenal Parwez, dan jangan bepergian tanpa pengawalan. Selalu bawa tombol darurat yang kau miliki.”
Parwez terdiam di seberang sana. Meski aku tidak melihatnya, aku tahu wajahnya sedang pucat. Parwez tidak pernah suka kekerasan, dan dia dalam posisi paling rentan jika hal itu terjadi.
“Apakah ini serius sekali, Bujang?” Suara Parwez bergetar.
“Aku tidak tahu. Tapi semua orang harus bersiap-siap. Tauke Besar sudah berkali-kali memberitahu kemungkinan serangan. Kau akan baik-baik saja sepanjang tidak meninggalkan kantor. Gedung itu dilengkapi sistem pertahanan terbaik, sama seperti markas besar Keluarga Tong…. Aku harus memutus telepon, Parwez, ada telepon lain masuk, dari Basyir.”
“Baik. Sekali lagi terima kasih atas bantuannya, Bujang.”
Mobilku berbelok di perempatan depan, setelah melaju lancar satu kilometer, kembali menemui antrian panjang komuter Manila yang memulai aktivitas.
“Selamat Pagi, Tauke Muda.” Suara khas Basyir langsung terdengar di langit-langit mobilku saat aku menerima teleponnya.
“Berhenti memanggilku begitu, Basyir.”
Basyir tertawa, “Aku membaca berita pagi ini, Bujang. Kasino Grand Lisabon terbakar, lantai 40-nya rusak berat. Lampu seluruh kasino padam, seluruh tamu dievakuasi. Petugas kepolisian setempat bilang hanya kebakaran biasa, ada saluran gas yang meledak. Semua sudah terkendali. Sayangnya, mereka tidak tahu, kau sepertinya habis menggila di sana, Bujang?”
Aku ikut tertawa. Selalu menyenangkan membahas soal penyerbuan dengan Basyir. Sejak kami remaja, membanding-bandingkan aksi siapa yang paling keren, mengolok-olok, itu sudah kebiasaan setiap tukang pukul.
“Kau sudah menerima telepon Parwez?” Aku memotong tawa Basyir.
“Sudah. Aku sedang menuju kantor Parwez, ada empat Letnan bersamaku. Macet hari pertama kerja sialan ini membuatku terlambat. Anak itu pasti sudah berkali-kali ke toilet karena gugup. Semoga orang-orang itu hanya salah-alamat datang ke kantor Parwez. Kita tidak perlu membuka front peperangan baru di masa-masa seperti ini.”
Aku mengangguk. Semoga mereka bukan orang suruhan dari Keluarga Lin. Dalam dunia yang tersambung cepat, meskipun Makau ribuan kilometer jauhnya, cukup hitungan jam jika Keluarga Lin memutuskan menyerang, mengirim orang-orang bayaran. Mereka sedang sakit hati, sepagi ini, keluarga mereka sedang berkabung, kantor Parwez adalah sasaran setara dengan Grand Lisabon, mereka punya alasan lengkap untuk melakukannya. Lazim sekali dalam tradisi balas dendam, kesumat harus diselesaikan sebelum Tuan Lin dikebumikan.
“Bagaimana eskekusi tadi malam?” Aku teringat sesuatu.
“Dilakukan dengan cepat, Bujang. Sesuai keinginanmu. Mereka bahkan tidak tahu apa yang sedang terjadi, lima menit, dan kami telah kembali ke markas besar.”
Aku menghembuskan nafas perlahan.
“Hei, kau baik-baik saja, Bujang?” Basyir bertanya, intonasi suaranya terdengar heran.
“Aku baik-baik saja.”
“Ayolah. Jangan-jangan kau mulai melunak soal ini, Kawan. Ada apa denganmu? Kau tidak terdengar nyaman setiap kali membahas eksekusi.”
Aku menyumpahi Basyir dalam hati. Siapa pula yang akan nyaman? Eksekusi itu berarti menghabisi seluruh penghuni rumah, termasuk anak-anak, wanita, siapa saja yang ada di sana. Sejauh apapun Tauke Besar membawa bisnis ini lebih terang, bersih, sisi satunya tidak pernah bisa ditinggalkan. Sisi itu seperti bayangan hitam pekat yang selalu ikut. Tidak bisa dipisahkan.
“Kau harus berhati-hati soal kantor Parwez, Basyir. Jangan terlalu mencolok.” Aku mengingatkan, “Ada belasan perusahaan kita yang terdaftar di bursa efek dunia berkantor di gedung itu. Bahkan kabar kebakaran biasa seperti Grand Lisabon tadi malam, bisa membuat rontok harga saham perusahaan kita di New York atau London, apalagi jika ada yang mengaitkannya dengan aktivitas ilegal. Lebih serius lagi dampaknya.”
“Jangan cemas, Bujang. Walaupun aku tidak tahu-menahu soal saham yang kau sebut itu, hanya kau dan Parwez yang sekolah di keluarga kita.” Basyir tertawa lagi, ”Aku akan bertindak hati-hati.”
Sambungan telepon kuputus setelah bercakap dengan Basyir satu-dua kalimat, mobil yang kukendari telah memasuki kawasan super padat kota Manila. Belasan rumah susun berdiri di sana, menggantikan sebagian perkampungan kumuh, ruko-ruko berbaris, kedai makanan dengan kepul asap dari kuali, took penjual gadget dan pulsa tapi sisanya sama, jalanan sempit, aroma busuk parit, sampah menggunung, preman yang mengatur parkiran, anak-anak jalanan yang berpakaian lusuh, gelandangan, peminta-minta, loket peminjaman uang dengan bunga selangit, tempat ini tidak pernah berubah sejak dulu. Masih menjadi poverty industry, bisnis kemiskinan bagi kelompok tertentu.
Inilah Tondo, kota Manila.
Aku akan menemui Salonga di sini.
***
Sepagi ini, ruangan latihan menembak itu dipenuhi belasan pengunjung, mereka mengenakan headset pelindung bising, kacamata dan rompi klub menembak. Terlihat dua puluh lajur menembak dengan sasaran di depannya, bisa dilihat dari jendela kaca tebal yang memisahkannya dengan ruangan resepsionis.
Aku melintasi bagian depan, dua pemuda yang menjaga meja penerima tamu segera mengenaliku.
“Salonga ada di ruangan latihan belakang, Tuan.”
Aku mengangguk.
Salonga sudah pensiun menjadi pembunuh bayaran. Sudah sepuluh tahun terakhir dia banting stir, membuka klub menembak di Tondo. Dia membeli lapangan besar di sana, menyulapnya menjadi tempat latihan menembak terlengkap dan terbaik di seluruh Asia. Lulusan klub ini tercatat menjadi atlet tembak terkenal, mulai dari anggota militer, kepolisian, satuan khusus, atau orang-orang yang sekadar menyalurkan hobi berburu, atau untuk menjaga diri. Klub menembak menerima murid-murid yang resmi, memegang lisensi senjata api, dan taat atas regulasi. Instruktur, peralatan, semuanya bersih dan sesuai SOP klub menembak.
Tapi itu hanya separuh gedung saja, sisanya, Salonga masih punya kelas khusus untuk pemuda yang dia rekrut, mulai dari pengangguran, anak jalanan, siapa saja di kawasan Tondo yang berminat belajar menembak. Ruangan latihan mereka ada di belakang, Salonga langsung yang menjadi instrukturnya, dibantu dua murid senior. Aku hampir setiap tahun mengunjungi Salonga di Manila, aku sudah hafal bangunan klub menembak, melangkah menuju ruangan itu, mendorong pintu besi. Suara letusan peluru terdengar bersahut-sahutan, ada delapan orang yang tengah berlatih menembak sasaran bergerak di dinding, sedangkan Salonga berdiri di belakang mereka, berteriak memaki seperti biasanya, “Bodoh! Astaga! Aku benar-benar menghabiskan waktu mengajari mereka.”
Aku menahan tawa, melangkah lebih dekat. Tubuh gempal dan pendek itu sudah hampir tujuh puluh tahun, masih gagah, meski rambutnya memutih, kulitnya menua. Tapi sisanya tetap sama, Salonga yang kukenal belasan tahun lalu, yang mudah marah, tidak peduli, memakai kaos tanpa lengan, celana pendek, persis seperti penjaga kelontong.
“Cukup! Hentikan tembakan kalian!” Salonga berseru kesal.
Suara tembakan langsung terhenti. Delapan muridnya menoleh, juga dua instruktur senior yang berdiri di dekat Salonga.
“Kalian kira harga peluru itu murah, hah? Dua belas sasaran bergerak, hanya kena empat? Kalian sudah mati dari tadi jika itu pertarungan sungguhan.” Wajah Salonga merah-padam.
Aku kali ini sungguhan tertawa. Membuat Salonga menoleh.
“Hallo, Salonga.” Menyapanya.
“Ah! Ah, ini kejutan yang menyenangkan, kemari kau, Bujang.” Salonga berseru kepadaku, wajahnya yang merah padam berubah ceria.
Dia bukannya bertanya apa kabarku, kapan tiba di Manila, Salong langsung melemparkan pistol, “Kau perlihatkan kepada delapan murid bodohku ini, bagaimana menjadi seorang penembak yang baik.”
Aku cekatan menangkapnya.
“Sekarang?”
“Tentu saja sekarang, Bujang! Aku tidak punya waktu berdiri di sini sepanjang hari.”
Aku nyengir lebar, aku hanya bergurau, senang menggodanya. Baiklah, sambil masih memegang pistol, aku meletakkan tas punggung, melepas jas, menyampirkannya di kursi. Mengambil posisi, menggenggam pistol lebih erat. Melambaikan tangan memberi kode, salah-satu murid senior segera menekan tombol, dua belas sasaran itu bergerak cepat di dinding. Tanganku tidak kalah cepat mulai menarik pelatuk. Suara letusan terdengar susul-menyusul, dua belas sasaran itu bertumbangan.
Enam detik. Ruangan latihan kembali lengang.
“Bagus sekali, Bujang.” Salonga terkekeh, kemudian menoleh, “Nah! Kalian lihat! Seperti itulah penembak yang menggunakan otaknya. Cepat, akurat, bahkan tidak berkedip menghabisi sasarannya. Nasib sekali aku harus mengajari kalian setiap pagi, makan hati, stress.”
Delapan murid Salonga terdiam, wajah mereka tertekuk. Aku tahu rasanya dimaki-maki seperti ini, mereka masih lebih baik, karena dimaki ramai-ramai, aku dulu, harus mengunyah kalimat kasar dan menyakitkan Salonga sendirian.
“Ikut aku, Bujang. Temani orang tua ini sarapan.” Salonga sudah melangkah menuju pintu besi, dua murid senior segera menggantikan.
Aku mengikutinya.
Lima menit, kami sudah duduk di teras lantai empat, menatap kawasan Tondo yang super padat. Klub menembak Salonga, terjepit rumah susun, ruko, bangunan-bangunan lain.
“Ini bukan jadwalmu seperti biasa, ada apa, Bujang?” Salonga tanpa basa-basi bertanya, sambil tangannya menyeduh kopi. Piring-piring berisi kue khas Manila tertata rapi di atas meja kayu.
Aku ikut menyeduh kopi, “Hanya masalah kecil, Salonga.”
Salonga menatapku datar, “Kau tidak pernah membawa masalah kecil ke rumahku, Bujang. Bahkan saat kau masih sepantaran murid-muridku tadi, kau sudah menjadi masalah serius bagiku.”
Aku tertawa, menyeruput kopi dengan rileks. Mengambil sepotong kue, aku lapar, ini sarapan yang lezat. Salonga tahu aku tidak pernah minum-minuman keras atau makan daging babi, dia menyuruh pelayan menyiapkan sarapan yang aman.
“Tauke Besar punya masalah dengan Keluarga Lin,” Aku mulai menjelaskan, setelah menghabiskan kue tersebut, “Tadi malam, aku menyelesaikan masalahnya. Kepala keluarga Lin tewas—“
“Kau membunuhnya dengan pistol colt yang kuberikan?” Salonga memotong.
Aku menggeleng, “Mereka memintaku meninggalkan semua senjata di luar—“
“Kalau begitu, kau membunuhnya dengan cara Guru Bushi?”
Aku mengangguk.
“Mengecewakan, Bujang.” Wajah Salonga terlihat masam, “Kau seharusnya menggunakan pistol. Itu jauh lebih berkelas dibanding teknik ninja.”
“Ayolah, Salonga.” Aku berseru sedikit kesal, “Bagaimana cara aku membunuhnya tidak penting. Aku tidak mau bertengkar membahas hal tersebut setiap kali datang ke sini, lantas kau mengusirku karena tersinggung. Kau benar, pistol itu tetap cara paling hebat, tapi aku tidak bisa menggunakannya.”
Salonga bersidekap, wajahnya kembali ceria setelah aku bilang pistol tetap yang terbaik. Setahun lalu saat mengunjunginya, aku bertengkar soal pistol versus teknik ninja, aku menjawab, dalam pertarungan jarak dekat, teknik ninja lebih efektif. Salonga marah-marah, mengusirku pulang.
“Kenapa kau membunuh kepala Keluarga Lin?”
“Mereka mengambil benda yang sangat penting milik kami, sebuah prototype teknologi terkini. Aku mengambilnya kembali. Itulah alasan kenapa aku tiba-tiba mengunjungimu. Aku ingin kau menyimpannya sementara waktu, hingga semua keributan berakhir. Hanya itu.”
“Itu tidak pernah ‘hanya itu’, Bujang.” Salonga menggeleng, “Dua tahun lalu, kau juga menitipkan benda berharga di sini, kau bilang ‘hanya itu’. Apa yang terjadi kemudian? Kami harus bertahan dua hari dua malam dari serbuan puluhan orang tidak dikenal. Aku kehilangan empat muridku, Tondo berubah menjadi kawasan mencekam, jam malam diberlakukan penguasa militer. Beruntung kami berhasil menghabisi seluruh penyerang.”
“Tapi itu menyenangkan, bukan?” Aku menyeringai, “Kau tidak pernah bisa meninggalkan masa lalu, Salonga. Merasakan sensasi berada dalam pertarungan, menghadapi musuh. Kau boleh saja mengaku sudah pensiun, tapi kau merindukan masa-masa terbaik itu. Murid-murid khususmu juga menyukainya, mereka punya kesempatan berlatih dalam pertempuran.”
“Kalau soal itu kau benar, Bujang.” Salonga terkekeh.
Aku meraih tas punggung. Dia sudah sepakat, tawa Salonga berarti dia bersedia menyimpan prototype pemindai. Meletakkan tas punggung itu di samping meja. Salonga meliriknya tidak peduli, dia kembali meraih gelas kopi, menyeruput nikmat.
“Apa kabar, Tauke?” Salonga beranjak membahas hal lain.
“Stabil. Tapi dia mungkin tidak akan pernah bisa meninggalkan tempat tidur.”
“Malang sekali nasibnya.” Salonga meletakkan gelas, “Ah, setidaknya aku masih bisa meneriaki murid-muridku di ruangan latihan. Selingan setiap pagi dan sore. Ayah angkat kau hanya bisa berteriak di atas ranjang. Dia terlalu serius bekerja, siang malam, tubuhnya tidak pernah cukup istirahat. Dia terlalu ambisius, entah apalagi yang dia inginkan. Nama Keluarga Tong sudah disegani di benua ini.”
Aku mengangguk, setuju pendapat Salonga. Sejak pindah ke ibukota, Tauke Besar tidak pernah berhenti bekerja. Setiap hari dia melakukan pertemuan, merancang sesuatu, mengeksekusi sesuatu. Setiap minggu kekuasannya melebar. Setiap bulan perusahaannya bertambah. Setiap tahun, satu demi satu kota ditaklukan, seperti tinta hitam yang dituangkan di dalam akuarium, cengkeraman Keluarga Tong menyebar kemana-mana. Tauke selalu dipenuhi mimpi-mimpi baru, dia tidak pernah puas, hingga sakit sumsum tulang belakang membuatnya terbaring di atas kasur.
Aku dan Salonga bercakap-cakap setengah jam lagi. Pukul sepuluh, saatnya aku pamit. Aku harus kembali ke ibukota, membantu Basyir mengurus orang-orang tidak dikenal di kantor Basyir.
“Kau harus berhati-hati, Bujang.” Salonga menepuk-nepuk pipiku, sebagai tanda berpisah,“Keluarga Lin akan membalas. Cepat atau lambat dia akan tiba di pintu rumah kalian. Belum lagi keluarga lain yang tidak suka dengan Tauke. Kesuksesan Tauke dua puluh tahun terakhir mengundang cemburu, banyak keluarga yang membencinya tanpa perlu alasan. Ini masa-masa kritis.”
Aku mengangguk.
“Jika kau butuh bantuan, segera hubungi aku, Bujang. Tondo punya pasukan besar.”
“Akan kulakukan. Terima kasih, Salonga.”
Lima menit kemudian, sedan hitam yang kukendarai telah kembali ke jalanan kota Manila yang macet, menuju bandara.
Salonga tidak pernah meminta bayaran sepeserpun atas setiap pekerjaan yang Keluarga Tong berikan. Sebagian memang karena Salonga pernah diselamatkan oleh Tauke Besar dari tiang gantungan, tapi sebagian lagi yang lebih penting, karena dia memiliki definisi kesetiaan sendiri. Aku memahami filosofi Salonga tersebut dari latihan terakhir, saat aku diminta menembak kepalanya. Hanya kesetiaan pada prinsiplah yang akan memanggil kesetiaan-kesetiaan terbaik lainnya.
***
https://www.facebook.com/tereliyewriter/posts/1462617163788847

kuatkan kami lagi dan lagi

seminggu telah berlalu
semoga cukup waktu seminggu kedepan untuk menyelesaikannya
semangat mama ali :*
ynwa

Tuesday, 11 April 2017

kuatkan kami ya robb

semoga dimudahkan jalannya
dimudahkan jalannya
dimudahkan jalannya
menghitung jam
semangat mama ali :*
dag dig dug duarrrrrrr

Wednesday, 22 March 2017

semangat bisa

Ya alloh
Tambahkanlah semangat kami
Tambahkanlah kesyukuran kami
Hari-hari yang kini kulalui
Semakin terasa berat
Kuatkanlah hati kami
Kuatkanlah pundak kami
Tegapkan lah pijakan kaki kami
Hingga tak oleng tersapu angin ujian
Saat orang2 tak menoleh pada kami
Tetap tolehlah kami ya robb
Getar2 tangis karena tersisih
Terabai
Tak terpandang
Maafkan kami ya robb
Atas kekerdilan jiwa kami
Sayangi kami ya robb
Anugerahi kami kekuatan, kesabaran
Aamiin
With love
Yours
Cepa

Saturday, 18 February 2017

cara menghitung Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja adalah suatu indikator ketenagakerjaan yang memberikan gambaran tentang penduduk yang aktif secara ekonomi dalam kegiatan sehari-hari merujuk pada suatu waktu dalam periode survei.
Beberapa indikator yang dapat mengambarkan partisipasi angkatan kerja yaitu:
1) General Economic Activity Ratio (Rasio Aktifitas Ekonomi Umum), rasio ini khusus untuk penduduk usia kerja, atau biasa disebut Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK). TPAK adalah indikator yang biasa digunakan untuk menganalisa partisipasi angkatan kerja.
Rumus:

2) Age-Sex-Specific Activity Ratio adalah persentase angkatan kerja terhadap penduduk per kelompok umur dan jenis kelamin (age-sex group)
Rumus:

Rasio ini menggambarkan partisipasi angkatan kerja pada tiap kelompok umur dan jenis kelamin. TPAK menurut kelompok umur biasanya memiliki pola huruf ”U” terbalik. Pada kelompok umur muda (15-24) tahun, TPAK cenderung rendah, karena pada usia ini mereka lebih banyak masuk kategori bukan angkatan kerja (sekolah). Begitu juga pada kelompok umur tua (diatas 65 tahun), TPAK rendah dikarenakan mereka masuk pada masa purnabakti (pensiun).
Jika kita lihat perbandingan antar jenis kelamin, maka TPAK perempuan jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki. Hal ini kemungkinan di Indonesia, tanggung jawab mencari nafkah pada umumnya laki-laki, sehingga perempuan lebih sedikit masuk ke dalam angkatan kerja.


http://duniadinu.blogspot.co.id/2011/10/tingkat-partisipasi-angkatan-kerja-tpak.html
 

Thursday, 16 February 2017

angkatan #2004 #2006 #2008


Hayo, yg mana yg angkatan

sayang mae

Mae sayang
Doakan slalu kami ya
Mudah2an di ijabah
Lekas pindah
Jadi kami bisa memulai hidup baru
Di mempawah
Bangun rumah
Jadi bisa sama2 mae
Sayang mae
Rindu mae
Ya Alloh, izinkahlah ayah  pindah
Ke mempawah
Aamiin ya Rabb

Sunday, 12 February 2017

semangatkan kami rab

Tuhanku, anugerahkanlah kami rasa tenang
Rasa syukur
Rasa ikhlas
Izinkanlah kami hidup tenang
Tanpa terlalu peduli dengan ocehan orang
Semoga ayah lekas pindah
Aamiin 😍

Tuesday, 7 February 2017

selamat

selamat buat semua
yang cita2nya udah kesampaian
semoga nular ke aku ya
cita2ku, keluargaku kesampaian
ya Alloh, mudahkanlah urusan kami
sehatkanlah badan kami
tercapai cita dan cinta kami
jadikanlah kami orang yang beruntung

love mae

Friday, 3 February 2017

bulan cinta

bulan februari udah sampai
semoga dimudahkan urusannya
yang kemaren2 dicuekin jadi pada punya hati
hehehe
sakit banget yak direndahin
sama orang deket lagi
dobel deh
arggggggh
tatapan mata ngenyek tuh bikin pengen gue jitak aja
wkwkwk
sukur aja gue masih sadar diri
belom pingsan :D
semangat cepa, do the best aja dech
kalikan ndol aje ye

mudah2an SK ayah bisa lekas keluar
aamiin ya Rab

Tuesday, 31 January 2017

izinkanlah

ya Alloh
izinkanlah suamiku agar dapat pindah kemari
ke dekat keluarganya
mudahkanlah urusannya
bukakan pintu hati mereka yang tanda tangan
kami tahu
Engkau maha kuasa
maha pembolak balik hati
mudahkanlah urusannya ya Alloh
aku pasrahkan semua padaMu ya Rabb

Doa nabi Yunus:
"LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA INNII KUNTU MINAZH ZHAALIMIIN"
("Tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk diantara orang-orang yang berbuat aniaya").

"Sesungguhnya tidaklah seorang muslim berdoa dengannya dalam suatu masalah melainkan Allah SWT kabulkan baginya". (HR. Tirmidzi no. 3505. dishahihkan oleh Syaikh Al Albani).

Firman Allah SWT: "Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap "Bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Engkau. Maha suci Engkau, sesungguhnya aku adalah Termasuk orang-orang yang zalim". Maka Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari pada kedukaan dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. Al Anbiya’: 87-88).

Maksud dari Dzun Nuun ialah; Nuun bermakna ikan. Dzun Nuun adalah sebutan untuk Nabi Yunus As.yang pernah ditelan oleh ikan tersebut. Do’a Nabi Yunus mudah diijabahi, Karena dalam do’anya beliau mengakui pada ketauhidan Allah SWT dan pengakuan terhadap setiap dosa, kesalahan dan kezholiman yang diperbuat diri sendiri.

Tiga keistimewaan dalam do’a Dzun Nuun:
1. Pengakuan tauhid.
2. Pengakuan akan kekurangan diri.
3. Berisi permohonan ampun (istighfar) pada Allah SWT.

https://media.ihram.asia/2016/08/12/doa-nabi-yunus-dalam-perut-ikan-paus/

Tuesday, 10 January 2017

galau2 siang hari


foto lama 4 th yg lalu :D

Pahamilah dirimu sendiri
Tersenyum
Lekukan yang selalu menghiasi bibirmu
Terkadang untuk menyenangkan saudaramu
Ujian hidup selalu ada
Tapi ingatlah, kesyukuran harus lebih meraja
Jadilah penerang bagi lingkunganmu
Perbanyak syukur
Hidup yang kau keluhkan adalah hidup yang mereka inginkan
Jika kau memandang keatas terhadap dunia
Maka akan kau dapati hati yang sengsara
Jika kau memandang kebawah terhadap amalan akhirat
Maka akan kau dapati hati yang mengeras
Berjuta2 kesombongan yang merajai jiwamu
Jika kau pandangi sekelilingmu yang tak sesuai dengan seleramu
Diamlah
Maafkanlah
Maka akan kau dapati hati yang sehat
Meski sulit
Maafkan, ikhlaskan, dan hadiahi dengan senyuman
Keep amazing mama
With love
yours

Thursday, 5 January 2017

ayah

semangat ayah
doa kami selalu untukmu
semoga dipindahkan
didekatkan dengan keluarga
semoga pimpinan dibukakan pintu hatinya
hingga digerakkan untuk acc kepindahan ayah
doa terbaik dari kami yang mencintai ayah
aamiin

wow

sahabat tanpa piagam
mengenang lika liku persahabatan
ada suka duka
ada jarak jauh dekat
ada pasang surut
kadang seperti lem dan kertas
kadang seperti bumi dan langit
tetep bahagia bersama
meski sudah berbeda tempat
kondisi
bahkan tak bisa lagi cekikikan lagi
karena akan ada seseorang yang menjawil sambil bilang
dah ade yang punye pun masih macam tu
wkwkwk piss ayay

ke kal tim kita

ke kaltim kita
sama mae n pae
perjalanan terjauh bertiga
kapan lagi bisa bawa mae jalan
mudah2an tahun depan bisa menemaninya pergi jauh
ketempat yg diidam-idamkan
semoga dimudahkan ya alloh
penuh harap

#kota mekah kota sejarah
bumi tandus penuh barokah
tanah yang dipilih
tempatnya baitullah