http://muslim.or.id/
Kiat Agar Tetap Istiqomah
Seorang sahabat kami tercinta, dulunya adalah orang yang menuntun
kami untuk mengenal ajaran islam yang haq (yang benar). Awalnya, ia begitu
gigih menjalankan ajaran Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia pun
selalu memberikan wejangan dan memberikan beberapa bacaan tentang Islam kepada
kami. Namun beberapa tahun kemudian, kami melihatnya begitu berubah. Ajaran
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya adalah suatu yang
wajib bagi seorang pria, lambat laun menjadi pudar dari dirinya. Ajaran
tersebut tertanggal satu demi satu. Dan setelah lepas dari dunia kampus,
kabarnya pun sudah semakin tidak jelas. Kami hanya berdo’a semoga sahabat kami
ini diberi petunjuk oleh Allah.
Berlatar belakang inilah, kami menyusun risalah ini. Dengan tujuan agar kaum
muslimin yang telah mengenal agama Islam yang hanif ini dan telah mengenal
lebih mendalam ajaran Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa
mengetahui bagaimanakah kiat agar tetap istiqomah dalam beragama, mengikuti
ajaran Nabi dan agar bisa tegar dalam beramal. Semoga bermanfaat.
Keutamaan Orang yang Bisa Terus Istiqomah
Yang dimaksud istiqomah adalah menempuh jalan (agama) yang lurus (benar)
dengan tidak berpaling ke kiri maupun ke kanan. Istiqomah ini mencakup
pelaksanaan semua bentuk ketaatan (kepada Allah) lahir dan batin, dan
meninggalkan semua bentuk larangan-Nya.[1] Inilah pengertian istiqomah yang
disebutkan oleh Ibnu Rajab Al Hambali.
Di antara ayat yang menyebutkan keutamaan istiqomah adalah firman Allah
Ta’ala,
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ
عَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ أَلا تَخَافُوا وَلا
تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ
“
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah” kemudian
mereka istiqomah pada pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada
mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu
merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah
dijanjikan Allah kepadamu”.” (QS. Fushilat: 30)
Yang dimaksud dengan istiqomah di sini terdapat tiga pendapat di kalangan
ahli tafsir:
- Istiqomah
di atas tauhid, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Bakr Ash Shidiq
dan Mujahid,
- Istiqomah
dalam ketaatan dan menunaikan kewajiban Allah, sebagaimana dikatakan oleh
Ibnu ‘Abbas, Al Hasan dan Qotadah,
- Istiqomah
di atas ikhlas dan dalam beramal hingga maut menjemput, sebagaimana
dikatakan oleh Abul ‘Aliyah dan As Sudi.[2]
Dan sebenarnya istiqomah bisa mencakup tiga tafsiran ini karena semuanya
tidak saling bertentangan.
Ayat di atas menceritakan bahwa orang yang istiqomah dan teguh di atas
tauhid dan ketaatan, maka malaikat pun akan memberi kabar gembira padanya
ketika maut menjemput[3] “
Janganlah takut dan janganlah bersedih“.
Mujahid, ‘Ikrimah, dan Zaid bin Aslam menafsirkan ayat tersebut: “Janganlah
takut pada akhirat yang akan kalian hadapi dan janganlah bersedih dengan dunia
yang kalian tinggalkan yaitu anak, keluarga, harta dan tanggungan utang. Karena
para malaikat nanti yang akan mengurusnya.” Begitu pula mereka diberi kabar
gembira berupa surga yang dijanjikan. Dia akan mendapat berbagai macam kebaikan
dan terlepas dari berbagai macam kejelekan. [4]
Zaid bin Aslam mengatakan bahwa kabar gembira di sini bukan hanya dikatakan
ketika maut menjemput, namun juga ketika di alam kubur dan ketika hari
berbangkit. Inilah yang menunjukkan keutamaan seseorang yang bisa
istiqomah.
Al Hasan Al Bashri ketika membaca ayat di atas, ia pun berdo’a, “
Allahumma
anta robbuna, farzuqnal istiqomah (Ya Allah, Engkau adalah Rabb kami.
Berikanlah keistiqomahan pada kami).”[5]
Yang serupa dengan ayat di atas adalah firman Allah
subhanahu wa ta’ala,
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلا
خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ,
أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاءً بِمَا
كَانُوا يَعْمَلُونَ
“
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah”, kemudian
mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka
kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.”
(QS. Al Ahqaf: 13-14)
Dari Abu ‘Amr atau Abu ‘Amrah Sufyan bin Abdillah, beliau berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ قُلْ لِى فِى
الإِسْلاَمِ قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ
أَحَدًا بَعْدَكَ –
وَفِى حَدِيثِ أَبِى
أُسَامَةَ غَيْرَكَ –
قَالَ «
قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ
فَاسْتَقِمْ ».
“Wahai Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, ajarkanlah
kepadaku dalam (agama) islam ini ucapan (yang mencakup semua perkara islam
sehingga) aku tidak (perlu lagi) bertanya tentang hal itu kepada orang lain
setelahmu [dalam hadits Abu Usamah dikatakan, "selain engkau"].
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “
Katakanlah:
“Aku beriman kepada Allah“, kemudian beristiqamahlah dalam ucapan
itu.”[6] Ibnu Rajab mengatakan, “Wasiat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa
sallam ini sudah mencakup wasiat dalam agama ini seluruhnya.”[7]
Pasti Ada Kekurangan dalam Istiqomah
Ketika kita ingin berjalan di jalan yang lurus dan memenuhi tuntutan
istiqomah, terkadang kita tergelincir dan tidak bisa istiqomah secara utuh.
Lantas apa yang bisa menutupi kekurangan ini? Jawabnnya adalah pada firman
Allah
Ta’ala,
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ
يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَاسْتَقِيمُوا
إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ
“
Katakanlah: “Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu,
diwahyukan kepadaku bahwasanya Rabbmu adalah Rabb Yang Maha Esa, maka
tetaplah istiqomah pada jalan yan lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun
kepada-Nya.” (QS. Fushilat: 6). Ayat ini memerintahkan untuk istiqomah
sekaligus beristigfar (memohon ampun pada Allah).
Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan, “Ayat di atas “
Istiqomahlah dan
mintalah ampun kepada-Nya” merupakan isyarat bahwa seringkali ada
kekurangan dalam istiqomah yang diperintahkan.
Yang menutupi kekurangan ini
adalah istighfar (memohon ampunan Allah). Istighfar itu sendiri mengandung
taubat dan istiqomah (di jalan yang lurus).”[8]
Kiat Agar Tetap Istiqomah
Ada beberapa sebab utama yang bisa membuat seseorang
tetap
teguh dalam keimanan.
Pertama: Memahami dan mengamalkan dua kalimat syahadat
dengan baik dan benar.
Allah
Ta’ala berfirman,
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
وَفِي الآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ
“
Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang
teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan
orang-orang yang lalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS.
Ibrahim: 27)
Tafsiran ayat “
Allah meneguhkan orang-orang yang beriman dengan ucapan
yang teguh …” dijelaskan dalam hadits berikut.
الْمُسْلِمُ إِذَا سُئِلَ فِى
الْقَبْرِ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ
إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، فَذَلِكَ قَوْلُهُ
:
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِى الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
وَفِى الآخِرَةِ .
“
Jika seorang muslim ditanya di dalam kubur, lalu ia berikrar
bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad
adalah utusan Allah, maka inilah tafsir ayat: “Allah meneguhkan (iman)
orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia
dan di akhirat”.“[9]
Qotadah As Sadusi mengatakan, “Yang dimaksud Allah meneguhkan orang beriman
di dunia adalah dengan meneguhkan mereka dalam kebaikan dan amalan sholih.
Sedangkan di akhirat, mereka akan diteguhkan di kubur (ketika menjawab
pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir, pen).” Perkataan semacam Qotadah
diriwayatkan dari ulama salaf lainnya.[10]
Mengapa Allah bisa teguhkan orang beriman di dunia dengan terus beramal
sholih dan di akhirat (alam kubur) dengan dimudahkan menjawab pertanyaan
malaikat “Siapa Rabbmu, siapa Nabimu dan apa agamamu”?
Jawabannya adalah
karena pemahaman dan pengamalannya yang baik dan benar terhadap dua kalimat
syahadat. Dia tentu memahami makna dua kalimat syahadat dengan benar.
Memenuhi rukun dan syaratnya. Serta dia pula tidak menerjang larangan Allah
berupa menyekutukan-Nya dengan selain-Nya, yaitu berbuat syirik.
Oleh karena itu, kiat pertama ini menuntunkan seseorang agar bisa beragama
dengan baik yaitu mengikuti jalan hidup salaful ummah yaitu jalan hidup para
sahabat yang merupakan generasi terbaik dari umat ini. Dengan menempuh jalan
tersebut, ia akan sibuk belajar agama untuk memperbaiki aqidahnya, mendalami
tauhid dan juga menguasai kesyirikan yang sangat keras Allah larang sehingga
harus dijauhi. Oleh karena itu, jalan yang ia tempuh adalah jalan Ahlus Sunnah
wal Jama’ah dalam beragama yang merupakan golongan yang selamat yang akan
senantiasa mendapatkan pertolongan Allah.
Kedua: Mengkaji Al Qur’an dengan menghayati dan
merenungkannya.
Allah menceritakan bahwa Al Qur’an dapat meneguhkan hati orang-orang beriman
dan Al Qur’an adalah petunjuk kepada jalan yang lurus. Allah
Ta’ala
berfirman,
قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِنْ
رَبِّكَ بِالْحَقِّ لِيُثَبِّتَ الَّذِينَ آمَنُوا وَهُدًى وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
“
Katakanlah: “Ruhul Qudus (Jibril)[11]
menurunkan Al Qur’an itu dari Rabbmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati)
orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira
bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.” (QS. An Nahl: 102)
Oleh karena itu, Al Qur’an itu diturunkan secara beangsur-angsur untuk
meneguhkan hati Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana
terdapat dalam ayat,
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلا نُزِّلَ عَلَيْهِ
الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ
تَرْتِيلا
“
Berkatalah orang-orang yang kafir: “Mengapa Al Qur’an itu tidak
diturunkan kepadanya sekali turun saja?”; demikianlah supaya Kami perkuat
hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar).”
(QS. Al Furqon: 32)
Al Qur’an adalah jalan utama agar seseorang bisa terus kokoh dalam agamanya.
[12] Alasannya, karena Al Qur’an adalah petunjuk dan obat bagi hati yang sedang
ragu. Sebagaimana Allah
Ta’ala berfirman,
هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ
“
Al Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang
beriman.” (QS. Fushilat: 44). Qotadah mengatakan, “Allah telah menghiasi
Al Qur’an sebagai cahaya dan keberkahan serta sebagai obat penawar bagi
orang-orang beriman.”[13] Ibnu Katsir menafsirkan ayat tersebut, “Katakanlah
wahai Muhammad, Al Qur’an adalah petunjuk bagi hati orang beriman dan obat
penawar bagi hati dari berbagai keraguan.”[14]
Oleh karena itu, kita akan saksikan keadaan yang sangat berbeda antara orang
yang gemar mengkaji Al Qur’an dan merenungkannya dengan orang yang hanya
menyibukkan diri dengan perkataan filosof dan manusia lainnya. Orang yang giat
merenungkan Al Qur’an dan memahaminya, tentu akan lebih kokoh dan teguh dalam
agama ini. Inilah kiat yang mesti kita jalani agar kita bisa terus istiqomah.
Ketiga:
Iltizam (konsekuen) dalam menjalankan
syari’at Allah
Maksudnya di sini adalah seseorang dituntunkan untuk konsekuen dalam
menjalankan syari’at atau dalam beramal dan tidak putus di tengah jalan. Karena
konsekuen dalam beramal lebih dicintai oleh Allah daripada amalan yang sesekali
saja dilakukan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits dari ‘Aisyah –radhiyallahu
‘anha-, beliau mengatakan bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى
أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
“
Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang
kontinu walaupun itu sedikit.” ‘Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan
selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. [15]
An Nawawi
rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah bahwa amalan yang
sedikit namun konsekuen dilakukan, itu lebih baik dari amalan yang banyak namun
cuma sesekali saja dilakukan.
Ingatlah bahwa amalan sedikit yang rutin
dilakukan akan melanggengkan amalan ketaatan, dzikir, pendekatan diri pada
Allah, niat dan keikhlasan dalam beramal, juga akan membuat amalan tersebut diterima
oleh Sang Kholiq Subhanahu wa Ta’ala. Amalan sedikit namun
konsekuen dilakukan akan memberikan ganjaran yang besar dan berlipat
dibandingkan dengan amalan yang sedikit namun sesekali saja dilakukan.”[16]
Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan, “Amalan yang dilakukan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah amalan yang konsekuen dilakukan (kontinu).
Beliau pun melarang memutuskan amalan dan meninggalkannya begitu saja.
Sebagaimana beliau pernah melarang melakukan hal ini pada sahabat ‘Abdullah bin
‘Umar.”[17] Yaitu Ibnu ‘Umar dicela karena meninggalkan amalan shalat malam.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash
radhiyallahu ‘anhuma, ia
mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padanya,
يَا عَبْدَ اللَّهِ ،
لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ
، كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ
فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ
“
Wahai ‘Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan. Dulu dia biasa
mengerjakan shalat malam, namun sekarang dia tidak mengerjakannya lagi.”[18]
Selain amalan yang kontinu dicintai oleh Allah, amalan tersebut juga dapat
mencegah masuknya virus “futur” (jenuh untuk beramal). Jika seseorang beramal
sesekali namun banyak, kadang akan muncul rasa malas dan jenuh. Sebaliknya jika
seseorang beramal sedikit namun ajeg (terus menerus), maka rasa malas pun akan
hilang dan rasa semangat untuk beramal akan selalu ada. Itulah mengapa kita
dianjurkan untuk beramal yang penting kontinu walaupun jumlahnya sedikit.
Keempat: Membaca kisah-kisah orang sholih sehingga bisa
dijadikan uswah (teladan) dalam istiqomah.
Dalam Al Qur’an banyak diceritakan kisah-kisah para nabi, rasul, dan
orang-orang yang beriman yang terdahulu. Kisah-kisah ini Allah jadikan untuk
meneguhkan hati Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
mengambil teladan dari kisah-kisah tersebut ketika menghadapi permusuhan
orang-orang kafir. Allah
Ta’ala berfirman,
وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ
مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ
فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ
وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ
“
Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah
kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah
datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang
beriman.” (QS. Hud: 11)
Contohnya kita bisa mengambil kisah istiqomahnya Nabi Ibrahim.
قَالُوا حَرِّقُوهُ وَانْصُرُوا آَلِهَتَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِينَ
(68)
قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي
بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَى إِبْرَاهِيمَ (69)
وَأَرَادُوا
بِهِ كَيْدًا فَجَعَلْنَاهُمُ الْأَخْسَرِينَ (70)
“
Mereka berkata: “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu
benar-benar hendak bertindak”. Kami berfirman: “Hai api menjadi dinginlah, dan
menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim”. mereka hendak berbuat makar terhadap
Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling merugi.”
(QS. Al Anbiya’: 68-70)
Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma berkata,
آخِرَ قَوْلِ إِبْرَاهِيمَ حِينَ
أُلْقِىَ فِى النَّارِ حَسْبِىَ
اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
“Akhir perkataan Ibrahim ketika dilemparkan dalam kobaran api adalah “
hasbiyallahu
wa ni’mal wakil” (Cukuplah Allah sebagai penolong dan sebaik-baik tempat
bersandar).”[19] Lihatlah bagaimana keteguhan Nabi Ibrahim dalam menghadapi
ujian tersebut? Beliau menyandarkan semua urusannya pada Allah, sehingga ia pun
selamat. Begitu pula kita ketika hendak istiqomah, juga sudah seharusnya
melakukan sebagaimana yang Nabi Ibrahim contohkan. Ini satu pelajaran penting
dari kisah seorang Nabi.
Begitu pula kita dapat mengambil pelajaran dari kisah Nabi Musa ‘alaihis
salam dalam firman Allah,
فَلَمَّا تَرَاءَى الْجَمْعَانِ قَالَ أَصْحَابُ مُوسَى
إِنَّا لَمُدْرَكُونَ,
قَالَ كَلا إِنَّ
مَعِيَ رَبِّي سَيَهْدِينِ
“
Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah
pengikut-pengikut Musa: “Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul”. Musa
menjawab: “Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku besertaku,
kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku”.” (QS. Asy Syu’aro: 61-62).
Lihatlah bagaimana keteguhan Nabi Musa ‘alaihis salam ketika berada dalam
kondisi sempit? Dia begitu yakin dengan pertolongan Allah yang begitu dekat.
Inilah yang bisa kita contoh.
Oleh karena itu, para salaf sangat senang sekali mempelajari kisah-kisah
orang sholih agar bisa diambil teladan sebagaimana mereka katakan berikut ini.
Basyr bin Al Harits Al Hafi mengatakan,
أَنَّ أَقْوَامًا مَوْتَى تَحْيَا القُلُوْبَ بِذِكْرِهِمْ وَأَنَّ أَقْوَامًا أَحْيَاءَ تَعْمَى الأَبْصَارَ بِالنَّظَرِ إِلَيْهِمْ
“
Betapa banyak manusia yang telah mati (yaitu orang-orang yang sholih,
pen) membuat hati menjadi hidup karena mengingat mereka. Namun sebaliknya, ada
manusia yang masih hidup (yaitu orang-orang fasik, pen) membuat hati ini mati
karena melihat mereka.“[20] Itulah orang-orang sholih yang jika dipelajari
jalan hidupnya akan membuat hati semakin hidup, walaupun mereka sudah tidak ada
lagi di tengah-tengah kita. Namun berbeda halnya jika yang dipelajari adalah
kisah-kisah para artis, yang menjadi
public figure. Walaupun mereka
hidup, bukan malah membuat hati semakin hidup. Mengetahui kisah-kisah mereka
mati membuat kita semakin tamak pada dunia dan gila harta.
Wallahul
muwaffiq.
Imam Abu Hanifah juga lebih senang mempelajari kisah-kisah para ulama
dibanding menguasai bab fiqih. Beliau
rahimahullah mengatakan,
الْحِكَايَاتُ عَنْ الْعُلَمَاءِ وَمُجَالَسَتِهِمْ
أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ كَثِيرٍ
مِنْ الْفِقْهِ لِأَنَّهَا آدَابُ الْقَوْمِ وَأَخْلَاقُهُمْ
“
Kisah-kisah para ulama dan duduk bersama mereka lebih aku sukai
daripada menguasai beberapa bab fiqih. Karena dalam kisah mereka diajarkan
berbagai adab dan akhlaq luhur mereka.“[21]
Begitu pula yang dilakukan oleh Ibnul Mubarok yang memiliki nasehat-nasehat
yang menyentuh qolbu. Sampai-sampai ‘Abdurrahman bin Mahdi mengatakan mengenai
Ibnul Mubarok, “
Kedua mataku ini tidak pernah melihat pemberi nasehat yang
paling bagus dari umat ini kecuali Ibnul Mubarok.“[22]
Nu’aim bin Hammad mengatakan, “Ibnul Mubarok biasa duduk-duduk sendirian di
rumahnya. Kemudian ada yang menanyakan pada beliau, “Apakah engkau tidak
kesepian?” Ibnul Mubarok menjawab, “
Bagaimana mungkin aku kesepian,
sedangkan aku selalu bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” [23]
Maksudnya, Ibnul Mubarok tidak pernah merasa kesepian karena sibuk mempelajari
jalan hidup Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Itulah pentingnya merenungkan kisah-kisah orang sholih. Hati pun tidak
pernah kesepian dan gundah gulana, serta hati akan terus kokoh.
Kelima: Memperbanyak do’a pada Allah agar diberi
keistiqomahan.
Di antara sifat orang beriman adalah selalu memohon dan berdo’a kepada Allah
agar diberi keteguhan di atas kebenaran. Dalam Al Qur’an Allah
Ta’ala
memuji orang-orang yang beriman yang selalu berdo’a kepada-Nya untuk meminta
keteguhan iman ketika menghadapi ujian. Allah
Ta’ala berfirman,
وَكَأَيِّنْ مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ
مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُوا لِمَا
أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
وَمَا ضَعُفُوا وَمَا اسْتَكَانُوا وَاللَّهُ
يُحِبُّ الصَّابِرِينَ (146)
وَمَا كَانَ قَوْلَهُمْ
إِلَّا أَنْ قَالُوا رَبَّنَا
اغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَإِسْرَافَنَا فِي أَمْرِنَا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ (147)
فَآَتَاهُمُ اللَّهُ ثَوَابَ الدُّنْيَا وَحُسْنَ ثَوَابِ الْآَخِرَةِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (148
“
Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah
besar dari pengikut(nya) yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena
bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula)
menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang sabar. Tidak ada do’a
mereka selain ucapan: ‘Ya Rabb kami, ampunilah dosa-dosa kami dan
tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan teguhkanlah
pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir‘. Karena itu
Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat.
Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan” (QS. Ali ‘Imran:
146-148).
Dalam ayat lain Allah
Ta’ala berfirman,
رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
“
Ya Rabb kami, limpahkanlah kesabaran atas diri kami, dan teguhkanlah
pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir.” (QS. Al
Baqarah: 250)
Do’a lain agar mendapatkan keteguhan dan ketegaran di atas jalan yang lurus
adalah,
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا
بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ
لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً
إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
“
Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada
kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada
kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi
(karunia).” (QS. Ali Imron: 8)
Do’a yang paling sering Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam panjatkan
adalah,
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ
“
Ya muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘alaa diinik (Wahai Dzat yang Maha
Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu).”
Ummu Salamah pernah menanyakan kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa
sallam, kenapa do’a tersebut yang sering beliau baca. Nabi
shallallahu
‘alaihi wa sallam seraya menjawab,
يَا أُمَّ سَلَمَةَ إِنَّهُ
لَيْسَ آدَمِىٌّ إِلاَّ وَقَلْبُهُ بَيْنَ
أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ
فَمَنْ شَاءَ أَقَامَ وَمَنْ
شَاءَ أَزَاغَ
“
Wahai Ummu Salamah, yang namanya hati manusia selalu berada di antara
jari-jemari Allah. Siapa saja yang Allah kehendaki, maka Allah akan berikan
keteguhan dalam iman. Namun siapa saja yang dikehendaki, Allah pun bisa
menyesatkannya.“[24]
Dalam riwayat lain dikatakan,
إِنَّ الْقُلُوبَ بِيَدِ اللَّهِ عَزَّ
وَجَلَّ يُقَلِّبُهَا
“
Sesungguhnya hati berada di tangan Allah ‘azza wa jalla, Allah yang
membolak-balikkannya.“[25]
Keenam: Bergaul dengan orang-orang sholih.
Allah menyatakan dalam Al Qur’an bahwa salah satu sebab utama yang membantu
menguatkan iman para shahabat Nabi adalah keberadaan Rasulullah
shallallahu
‘alaihi wa sallam di tengah-tengah mereka. Allah
Ta’ala berfirman,
وَكَيْفَ تَكْفُرُونَ وَأَنْتُمْ تُتْلَى عَلَيْكُمْ آَيَاتُ اللَّهِ وَفِيكُمْ رَسُولُهُ وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ
فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ
مُسْتَقِيمٍ
“
Bagaimana mungkin (tidak mungkin) kalian menjadi kafir, sedangkan
ayat-ayat Allah dibacakan kepada kalian, dan Rasul-Nyapun berada ditengah-tengah
kalian? Dan barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka
sesungguhnya dia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Ali
‘Imran: 101)
Allah juga memerintahkan agar selalu bersama dengan orang-orang yang baik.
Allah
Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah
kamu bersama orang-orang yang benar(jujur).” (QS. At Taubah: 119)
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan kepada kita
agar bersahabat dengan orang yang dapat memberikan kebaikan dan sering
menasehati kita.
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ
، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ
صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ ،
أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ،
وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ
تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً
“
Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang yang
jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika
engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau
minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak
mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya
yang tidak enak.” [26]
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Hadits ini menunjukkan larangan berteman
dengan orang-orang yang dapat merusak agama maupun dunia kita. Dan hadits ini
juga menunjukkan dorongan agar bergaul dengan orang-orang yang dapat memberikan
manfaat dalam agama dan dunia.”[27]
Para ulama pun memiliki nasehat agar kita selalu dekat dengan orang sholih.
Al Fudhail bin ‘Iyadh berkata,
نَظْرُ المُؤْمِنِ إِلَى المُؤْمِنِ يَجْلُو
القَلْبَ
“
Pandangan seorang mukmin kepada mukmin yang lain akan mengilapkan hati.“[28]
Maksud beliau adalah dengan hanya memandang orang sholih, hati seseorang bisa
kembali tegar. Oleh karenanya, jika orang-orang sholih dahulu kurang semangat
dan tidak tegar dalam ibadah, mereka pun mendatangi orang-orang sholih lainnya.
‘Abdullah bin Al Mubarok mengatakan, “Jika kami memandang Fudhail bin
‘Iyadh, kami akan semakin sedih dan merasa diri penuh kekurangan.”
Ja’far bin Sulaiman mengatakan, “Jika hati ini ternoda, maka kami segera
pergi menuju Muhammad bin Waasi’.”[29]
Ibnul Qayyim mengisahkan, “Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa
perasaan gundah gulana atau muncul dalam diri kami prasangka-prasangka buruk
atau ketika kami merasakan sempit dalam menjalani hidup, kami segera mendatangi
Ibnu Taimiyah untuk meminta nasehat. Maka dengan hanya memandang wajah beliau
dan mendengarkan nasehat beliau serta merta hilang semua kegundahan yang kami
rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang”.[30]
Itulah pentingnya bergaul dengan orang-orang yang sholih. Oleh karena itu,
sangat penting sekali mencari lingkungan yang baik dan mencari sahabat atau
teman dekat yang semangat dalam menjalankan agama sehingga kita pun bisa
tertular aroma kebaikannya. Jika lingkungan atau teman kita adalah baik, maka
ketika kita keliru, ada yang selalu menasehati dan menyemangati kepada
kebaikan.
Kalau dalam masalah persahabatan yang tidak bertemu setiap saat, kita
dituntunkan untuk mencari teman yang baik, apalagi dengan mencari pendamping
hidup yaitu suami atau istri. Pasangan suami istri tentu saja akan menjalani
hubungan bukan hanya sesaat. Bahkan suami atau istri akan menjadi teman ketika
tidur. Sudah sepantasnya, kita berusaha mencari pasangan yang sholih atau sholihah.
Kiat ini juga akan membuat kita semakin teguh dalam menjalani agama.
Demikian beberapa kiat mengenai istiqomah.
Semoga Allah senantiasa
meneguhkan kita di atas ajaran agama yang hanif (lurus) ini. Wahai Dzat yang
Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hati kami di atas agama-Mu.
***
Diselesaikan di Panggang, Gunung Kidul, 20 Dzulhijah 1430 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam,
Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 246, Darul Muayyid, cetakan pertama, tahun 1424 H.
[2] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul
Jauziy, 5/304, Mawqi’ At Tafasir.
[3] Ini pendapat Mujahid, As Sudi dan Zaid bin Aslam. Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu
Katsir, 7/177, Dar Thoyyibah, cetakan kedua, tahun 1420 H.
[4] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim,
7/177.
[5] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam,
hal. 245.
[6] HR. Muslim no. 38.
[7] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam,
hal. 246.
[8] Idem
[9] HR. Bukhari no. 4699 dan Muslim no. 2871, dari Al Barro’
bin ‘Azib.
[10] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim,
4/502.
[11] Malaikat Jibril disebut ruhul qudus oleh Allah agar
beliau tersucikan dari segala macam ‘aib, sifat khianat, dan kekeliruan (Lihat Taisir Al Karimir Rohman,
‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal. 449, Muassasah Ar Risalah, cetakan
pertama, tahun 1423 H). Sehingga tidak boleh dikatakan bahwa Jibril
memanipulasi ayat atau menyatakan bahwa Al Qur’an adalah perkataan Jibril dan
bukan dari Allah. Ini sungguh telah menyatakan Jibril khianat dalam
menyampaikan wahyu dari Allah. Wallahul muwaffiq.
[12] Lihat Wasa-il Ats Tsabat,
Syaikh Sholih Al Munajjid, hal. 2-3, Asy Syamilah.
[13] Lihat Jaami’ul Bayan fii Ta’wilil
Qur’an, Ibnu Jarir Ath Thobari, 21/438, Muassasah Ar Risalah,
cetakan pertama, tahun 1420 H.
[14] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim,
7/184.
[15] HR. Muslim no. 783, Kitab shalat para musafir dan
qasharnya, Bab Keutamaan amalan shalat malam yang kontinu dan amalan lainnya.
[16] Syarh Muslim, An Nawawi,
6/71, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, tahun 1392 H.
[17] Fathul Baari lii Ibni Rajab,
1/84, Asy Syamilah
[18] HR. Bukhari no. 1152.
[19] HR. Bukhari no. 4564.
[20] Shifatush Shofwah, Ibnul
Jauziy, 2/333, Darul Ma’rifah, Beirut, cetakan kedua, tahun 1399 H.
[21] Al Madkhol,
1/164, Mawqi’ Al Islam
[22] Shifatush Shofwah,
1/438.
[23] Idem.
[24] HR. Tirmidzi no. 3522. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini shahih.
[25] HR. Ahmad (3/257). Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan
bahwa sanad hadits ini qowiy (kuat)
sesuai syarat Muslim.
[26] HR. Bukhari no. 2101, dari Abu Musa.
[27] Fathul Bari, Ibnu
Hajar Al Asqolani, 4/324, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379
[28] Siyar A’lam An Nubala’,
8/435, Mawqi’ Ya’sub.
[29] Ta’thirul Anfas min Haditsil
Ikhlas, Sayyid bin Husain Al ‘Afani, hal. 466, Darul ‘Affani,
cetakan pertama, tahun 1421 H
[30] Lihat Shahih Al Wabilush Shoyyib,
antara hal. 91-96, Dar Ibnul Jauziy